MSP Online Kuliah ONline

Ruang Sederhana bagi Gathering & Sharing Informasi dan Materi Referensi Ilmiah Populer

Jumat, 03 Februari 2012

HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir)

Pengelolaan wilayah pesisir (PWP) memerlukan pengaturan setingkat UU karena, pertama, sumberdaya wilayah pesisir belum dikelola secara optimal sehingga kontribusinya bagi kesejahteraan masyarakat di sekitarnya sangat minimal. Kemiskinan masih mendera 32 persen dari 16,42 juta penduduk 8.090 desa pesisir. Kedua, berbagai bencana pesisir, seperti tsunami, telah meluluhlantahkan pemukiman dan menewaskan ratusan ribu orang tanpa dapat diantisipasi. Sesudah bencana terjadi, ternyata ada indikasi yang sangat meyakinkan, bahwa wilayah pesisir yang ekosistem terumbu karang dan mangrovenya masih baik mengalami kerusakan relatif kecil. Ketiga, di berbagai belahan bumi yang wilayah pesisirnya tertata baik terbukti mampu menumbuhkan investasi dan memberi kontribusi ekonomi yang signifikan.UU PWP, secara substantif, juga akan melahirkan tradisi baru pengelolaan wilayah pesisir. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) adalah sebuah norma baru dalam khasanah hukum nasional kita. Selama ini, perairan pesisir dan laut senantiasa diletakkan di bawah bayang-bayang doktrin open access, yang menutup peluang pemberian hak atas perairan pesisir.
Harus diakui dominasi doktrin open access masih kuat menguasai benak para pengambil kebijakan di negeri ini. Mereka menganggap perairan pesisir dan laut sebagai milik semua orang sehingga hukum harus memastikan bahwa setiap orang terlindungi aksesnya pada perairan pesisir dan laut. Bagi penganut doktrin ini, di atas perairan pesisir dan laut haram hukumnya diterbitkan hak, sebab akan menimbulkan penguasaan yang eksklusif dan membatasi akses orang lain.
Pandangan semacam ini sangat anti-sejarah dan tidak sesuai dengan tradisi lokal yang telah berlangsung turun-temurun. Sebuah risalah menjelaskan bahwa doktrin open access sebenarnya berakar pada tradisi masyarakat Negara-negara Atlantik Utara. Menurut tradisi ini, setiap orang mempunyai hak untuk menangkap ikan di perairan mana saja sebagai perwujudan hak asasi manusia. Karena itu, pengaturan yang membatasi hak asasi tersebut, seperti pembatasan keikutsertaan atau kuota, tidak diperkenankan.
Akan tetapi, sesudah wilayah perikanan mereka mengalami degradasi dan overfishing, maka muncul kepentingan untuk “menularkan” doktrin tersebut ke negara lain, tidak terkecuali Indonesia, demi kelangsungan industri perikanan mereka. Harapannya, ketika doktrin menular ke negara lain, maka kebijakan negara itu sudang barangtentu akan memberi akses bagi armada perikanan Atlantik untuk ikut mengeksploitasi perairan pesisir dan lautnya sebagai konsekuensi doktrin open access. Padahal, negara-negara tersebut sesungguhnya memiliki tradisi pengelolaan perairan pesisir dan laut yang berbeda. Bahkan, di Jepang, Srilanka, Filipina, dan Thailand, jauh sebelumnya telah mempraktikkan pembatasan keikutsertaan, bahkan ada pemberian fishing rights.
Di Indonesia, jauh sebelum jaman kolonial, telah berkembang tradisi pengelolaan perairan pesisir yang memungkinkan penguasaan perairan secara eksklusif. Di Aceh, perairan pesisir dapat dikuasai berdasarkan ijin dari Sultan. Di Tegal, perairan pesisir dibagi-bagi di antara para nelayan seperti gogolan yang silih berganti disediakan bagi mereka untuk menangkap ikan. Di Banten, perairan pesisir dinamakan patenekan yang hanya memberi hak kepada warga desa setempat untuk menagkap ikan. Sasi laut di Maluku, awig-awig di Nusa Tenggara Barat, atau rompong di Sulawesi Selatan merupakan contoh lain dari tradisi pengelolaan perairan pesisir bernuansa property right yang hingga kini tetap bertahan.
Segenap sistem tradisional ini mempraktikkan penguasaan bagian tertentu dari perairan pesisir secara eksklusif hanya bagi komunitas tertentu dengan memberlakukan hukum-hukum yang mereka sepakati sendiri. Mereka yang bukan anggota komunitas dilarang ikut memanfaatkan sumberdaya perairan pesisir kecuali atas ijin pemimpin komunitas.
Perkembangan budidaya laut, seperti budidaya mutiara dan rumput laut, pada kenyataannya juga memerlukan penguasaan perairan pesisir secara permanen dan eksklusif. Selama ini, pengusaha budidaya mutiara hanya diberikan ijin sebagai basis legal pemanfaatan perairan pesisir sehingga tingkat kepastian hukumnya pun sangat rapuh. Dalam banyak kejadian, perusahaan budidaya mutiara tergusur lantaran ada peruntukan lain yang datang belakangan. Sesuatu yang tidak akan pernah terjadi sekiranya mereka memiliki HP3. Bahkan untuk usaha budidaya rumput laut, ijin pun mereka tidak punya, sehingga sangat rentan terhadap penggusuran untuk kepentingan lain.
Dengan demikian norma hukum HP3 memiliki landasan historis, sosiologis, dan yuridis yang kuat sehingga tidak perlu ada keraguan untuk mengesahkannya. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana ruang lingkup HP3? Berapa lama jangka waktu hak itu dapat diberikan? Siapa saja yang dapat diberikan? Lembaga mana yang berwenang memberikan hak tersebut?
***
Merujuk pada tradisi penguasaan perairan pesisir yang berkembang di masyarakat lokal serta praktik pengaturan hak atas perairan di negara lain, seperti Jepang dengan fishing right-nya, maka HP3 dapat mencakup penguasaan atas bagian-bagian perairan pesisir untuk usaha perikanan (termasuk budidaya mutiara dan rumput laut), pariwisata bahari, atau usaha lainnya, tetapi tidak mencakup pertambangan dasar laut. HP3 hanya dapat diberikan dalam wilayah laut teritorial.
Sebagai antisipasi munculnya konflik pemanfaatan setelah diberikannya HP3, maka terlebih dahulu harus ditetapkan Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, dan Rencana Aksi, sebagai prasyarat pemberian HP3. Artinya, Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota, terlebih dahulu harus menetapkan rangkaian perencanaan hirarkis tersebut sebelum menerbitkan HP3.
Ikhwal jangka waktu HP3, sangat bergantung pada karakteristik usaha yang akan dikembangkan. Jangka waktu tersebut sedemikian rupa supaya kondusif bagi tumbuhnya investasi. Jangka waktu 50 tahun sudah sangat memadai asalkan diberi peluang perpanjangan setelah jangka waktu pertama berakhir. Namun bagi keperluan masyarakat lokal, baik untuk kepentingan ekonomi maupun tradisi, jangka waktunya bisa tanpa batas, sepanjang kenyataannya mereka masih memanfaatkannya secara efektif.
Lalu siapa yang berhak mendapatkan HP3? Prioritas pertama adalah komunitas lokal atau masyarakat adat. Dalam praktiknya, komunitas ini telah menguasai dan memanfaatkan perairan pesisir secara turun-temurun. Khusus bagi komunitas ini, peruntukan HP3 tidak dibatasi hanya untuk kegiatan ekonomi, tetapi juga kegiatan-kegiatan yang bernuansa relegi dan kultural.
Subjek hukum lain yang dapat diberikan HP3 ialah Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia. Perusahaan asing atau multinasional tidak dapat diberikan HP3, sebagai konsekuensi prinsip nasionalitas. Prinsip ini sudah menjadi preseden hukum, seperti tercermin dalam UU Agraria, UU Pertambangan, dan UU Kehutanan. Namun demikian tidak berarti perusahaan asing tertutup sama sekali peluangnya untuk berinvestasi di wilayah pesisir, mereka dapat melakukannya melalui skim kerjasama dengan perusahan berbadan hukum Indonesia pemegang HP3.
Adapun kewenangan pemberian HP3 seyogyanya merujuk pada UU Pemerintahan Daerah, sebagai bentuk harmonisasi dan sinkronisasi hukum nasional. Oleh karena itu, apabila HP3 terletak dalam wilayah perairan 4 mil, maka yang berwenang memberikan HP3 adalah bupati/walikota setempat. Selebihnya, sampai 12 mil atau lintas wilayah kabuparen/kota menjadi otoritas gubernur. Sedangkan pemerintah pusat, melalui Departemen Kelautan dan Perikanan, berwenang memberikan HP3 yang letaknya lintas wilayah propinsi atau wilayah strategis yang akan ditentukan dalam UU PWP.
***
Pengesahan UU PWP yang, antara lain, mengatur HP3, sungguh merupakan prestasi cemerlang anak bangsa ini. UU ini akan tercatat dengan tinta emas dalam sejarah hukum Indonesia, seperti layaknya UU Agraria 1960. HP3 adalah terobosan hukum yang memiliki basis historis, sosiologis, dan yuridis sekaligus.
Seperti UU Agraria yang perumusannya memerlukan waktu bertahun-tahun dan melibatkan hampir semua pemangku kepentingan (stakeholders), maka UU PWP juga sudah menempuh jalan sejarah seperti itu. Naskah akademiknya sudah disusun sejak tahun 2000 dan telah melibatkan hampir seluruh pemangku kepentingan melalui berbagai konsultasi publik dan diskusi internet. Sampai-sampai Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin saat itu di hadapan sidang DPR bercanda: tinggal bajak laut saja yang belum sempat mendiskusikan RUU PWP.***

Sebuah artikel oleh Sudirman Saad
*) Penulis adalah Ketua Masyarakat Perikanan Nusantara bidang Hukum dan Advokasi dan penulis buku Politik Hukum Perikanan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar