MSP Online Kuliah ONline

Ruang Sederhana bagi Gathering & Sharing Informasi dan Materi Referensi Ilmiah Populer

Kamis, 15 Maret 2012

Lahan Basah; keberadaannya di Indonesia

Lahan basah yang banyak dikenal masyarakat seperti rawa-rawa, air payau, tanah gambut merupakan wilayah yang tidak menarik bahkan dianggap berbahaya. Banyak jenis serangga tinggal di kawasan ini yang menjadikannya tempat tinggal (habitat) sehingga mampu membentuk ekosistem tersendiri. Ekosistem lahan basah banyak menyimpan berbagai satwa dan tumbuhan liar yang sebagian besar menggantungkan hidupnya pada keberadaan lahan basah ini. Bahkan dibandingkan dengan ekosistem lainnya ternyata ekosistem lahan basah boleh dikatakan yang terkaya dalam menyimpan jenis flora dan fauna (Hardjasoemantri,1991:214).
Tipologi ekosistem lahan basah dapat terdiri dari ekosistem air tawar dan ekosistem estuarin. Ekosistem air tawar terdiri dari air yang tenang seperti: empang, rawa, kolam dan air mengalir seperti: sungai, sumber air. Sedangkan ekosistem estuarin terpengaruh adanya pasang surut air laut, contohnya: payau, mangrove, rumput laut, laguna. Lahan basah juga ada yang dalam bentuk alami, ada pula dalam bentuk buatan seperti persawahan, tambak, kolam industri. Baik lahan basah alami maupun buatan ternyata keberadaannya sangat penting bagi ekosistem dunia. Bahkan penduduk di beberapa bagian dunia ini sangat bergantung pada lahan ini. Contohnya adalah masyarakat Asia yang sebagian besar hidupnya tergantung pada beras yang ditanam di lahan basah (Elsworth,1990:477). Demikian juga dengan mayoritas penduduk Indonesia bergantung pada lahan ini karena lebih dari 100 juta orang hidup di sepanjang pantai dan disekitar aliran sungai (Noesreini,1993:21). Pengaturan mengenai ekosistem lahan basah secara global terdapat dalam suatu Konvensi Internasional yang disponsori oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources), sekarang: The World Conservation Union). Konvensi ini bernama Conventions on Wetlands of International Importance, Especially as Waterfowl Habitat atau disingkat sebagai Ramsar Convention 1971.

Oleh pemerintah Indonesia konvensi ini telah diratifikasi berdasarkan Surat Keputusan Presiden tanggal 19 Oktober 1991 dengan Nomer : R. 09.PRD/PU/X/1991. Dan melalui Undang-undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya lahan basah dimasukkan kedalam wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. (Penjelasan pasal 8 UU No 5/1990). Demikian juga dalam Keputusan Presiden No 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, tertanggal 25 Juli 1990 memasukkan beberapa jenis lahan basah sebagai bagian dari kawasan yang dilindungi. (Pasal 4 dan pasal 6 Keppres No 32/1990). Dengan melihat ketentuan ini telah menunjukkan bahwa kawasan lahan basah merupakan kawasan penyangga yang penting bagi kehidupan manusia dan lingkungannya dan karena itu harus dilindungi.

Penggunaan kata Wetland berasal dari bahasa Inggris yaitu wet berarti basah dan land adalah tanah atau lahan. Jadi wetland diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai lahan basah. Namun tidak semua bahasa mempunyai padanan kata atau arti yang sama dari bahasa Inggris ini. Misalnya bahasa Polandia tidak memiliki istilah yang sama mengenai wetland. (Sommer,1987:107). Sedangkan dalam bahasa Perancis para pakar menggunakan istilah Zone Humides. ( Untermair,1987:57). Menurut Steve Elsworth dalam A Dictionary of The Environment mengartikan sbb:
Wetland is the collective name for all areas outside the oceans which are permanently or periodically covered in water. (Elsworth,1990:476).

Menurut Environmental Defender`s Office istilah lahan basah diartikan sebagai berikut (EDO,1992:218) :
Wetland is an area flooded or waterlogged often enough to have both terrestrial and aquatic characteristics.
Jadi lahan basah dapat dikatakan sebagai suatu wilayah genangan atau wilayah penyimpanan air yang memiliki karakteristik terresterial dan aquatik. Contoh yang dapat diambil adalah : rawa-rawa, mangrove, payau, daerah genangan banjir, hutan genangan serta wilayah sejenis lainnya. Sedangkan menurut Gareth Jones dkk dalam Reference Dictionary Environmental Science membatasi penggunaan lahan ini dengan menyatakan (Gareth Jones et al,1990:461) :
Wetland is any area of low-lying land where the water table is at or near the surface for most of the time, resulting in open water habitats and waterlogged land areas.
International Conference on Wetland and Waterfowl Conservation in South and West Asia tahun 1991 memberikan batasan sebagai berikut (Yayasan Mangrove,1993):
Wetlands is a broad term which encompassess a wide range of inland coastal and marine habitat sharing the common feature of temporary or permanent freshwater or shallow coastal waters.

Batasan ini nampaknya memberi penekanan pada adanya faktor ketergenangan air tawar ataupun asin atau perairan pantai yang dangkal baik permanen ataupun sementara.

Dari batasan-batasan tersebut, ternyata melalui Konvensi Ramsar digunakan istilah yang berbeda dan dapat dikatakan merupakan istilah yang dipakai secara internasional. Pasal 1 Konvensi Ramsar menyatakan bahwa:
Wetland is area of marsh, flend, peatland orwater, whether natural or artificial, permanent or temporary, with water that is static or flowing, fresh, blockish or silt, including areas of marine water the depth of which at low tide does not exceed six meters.(Konvensi Ramsar Pasal 1)
(Lahan basah adalah daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut dan perairan alami maupun buatan, tetap atau sementara, perairan tergenang maupun mengalir yang airnya tawar, payau atau asin, termasuk didalamnya wilayah perairan laut yang kedalamannya pada waktu air surut tidak lebih dari enam meter).

Dari pengertian tersebut ternyata merujuk kepada daerah sebagai berikut: daerah rataan terumbu dan padang lamun di daerah pesisir, sampai rataan lumpur, hutan bakau, estuarin, sungai rawa air tawar, hutan rawa, danau juga rawa dan danau berair asin.

Tegasnya, menurut William A Niering para pakar telah mengelompokkan 5 sistem lahan basah yaitu :
a. Marine
b. Estuarine
c. Lacustrine
d. Riverine
e. Palustrine

Lahan basah pada ekosistem marine dan estuarine contohnya adalah: lahan basah pantai seperti rawa pasang surut, mangrove (hutan bakau), sedangkan ketiga ekosistem lainnya adalah termasuk dalam ekosistem air tawar. Lacustrine contohnya adalah perairan danau. Riverine contohnya adalah kali, sungai kecil. Palustrine contohnya: rawa-rawa, payau, tanah berlumpur atau daerah yang sejenis lainnya.

Kawasan lahan basah seperti rawa-rawa, hutan bakau, hutan air payau pada mulanya belum disadari sebagai kawasan yang berguna dan menguntungkan. Hal ini mengingat resiko tinggi yang dihadapi oleh penduduk yang tinggal di daerah sekitarnya. Sebagai contoh yang cukup mengganggu bagi mereka di mana bahaya timbulnya penyakit seperti malaria dari nyamuk yang tinggal di rawa-rawa atau serangan hewan liar seperti ular, buaya, serta jenis lain, kadang-kadang datang ke perkampungan penduduk yang tinggal di sekitar daerah rawa. Sehingga daerah rawa tersebut dianggap sebagai wilayah yang kurang bermanfaat serta tidak menarik untuk didatangi.

Namun demikian di beberapa tempat ternyata penduduknya sangat tergantung hidupnya pada adanya lahan ini, misalnya penduduk yang tinggal di daerah pantai amat tergantung pada ikan atau udang yang habitatnya ada yang bergantung pada muara sungai atau hutan bakau. Adanya rawa-rawa ternyata merupakan tempat penyerapan air sehingga bila hujan datang maka daerah ini sangat menguntungkan bagi resapan air hujan. Jika rawa-rawa dihancurkan akan menyebabkan air hujan tidak tertampung dan terserap yang dapat mengakibatkan timbulnya banjir. Selain itu ternyata rawa-rawa atau beberapa jenis lahan basah lainnya berfungsi menjadi habitat beberapa spesies flora dan fauna. Sehingga mampu untuk mendukung peningkatan populasi bagi flora dan fauna yang cenderung punah. Di sinilah peran lahan basah dalam membantu proses keseimbangan alam secara alami antara mahluk hidup dengan lingkungannya.
Selain itu beberapa manfaat lain dari adanya lahan basah yaitu :

Manfaat Ekologis
- Membantu menyerap unsur-unsur hara yang penting serta bahan makanan yang berguna bagi mahluk hidup sekitarnya.
- Menyediakan air sepanjang tahun khususnya ke akuifer (pengisian kembali air tanah) dan lahan basah lain.
- Mengendalikan terjadinya luapan air pada musim penghujan.
- Menjernihkan air buangan serta dapat menyerap bahan-bahan polutan dengan kapasitas tertentu.
- Mencegah intrusi air asin.
- Membantu melindungi daerah pantai dari aktivitas gelombang dan badai.
- Mengendalikan erosi serta mampu menahan lumpur
- Penting untuk konservasi khususnya siklus spesies tanaman, ekosistem, bentang alam, proses alam, komunitas.
- Kontribusi pada kelangsungan proses dan sistem alami yang ada; proses dan sistem ekologi, penyerapan karbon, mengontrol kadar garam tanah dan pengembangan tanah asam sulfat (Noesreini,1993).

Manfaat Ekonomis
- Sumber produk alami dalam dan di luar lahan.
- Sebagai habitat yang banyak memberikan spe-
sies flora dan fauna yang dapat dimanfaatkan
untuk pengobatan tradisionil penduduk.
- Sebagai sumber makanan.
- Produksi energi.

Manfaat Pariwisata
- Kesempatan untuk memberikan rekreasi.
- Obyek turisme.
- Dapat dijadikan suaka alam dan kawasan per-
lindungan.

Manfaat Ilmiah
- Penelitian ekosistem lahan basah.
- Observasi spesies flora dan fauna.

Masih banyak manfaat lainnya yang belum disebutkan. Seperti yang disebutkan oleh Howe (1991) yang menyatakan ada sekitar 18 manfaat lahan basah dengan membagi 3 hal berdasarkan fungsi, penggunaan dan ciri-cirinya. Selain itu ada juga yang membagi 2 hal dalam memanfaatkan lahan basah ini yaitu pemanfaatan konsumtif dan pemanfaatan non-konsumtif (Pakpahan & Pakpahan,1994:6).
Namun pada prinsipnya penggunaan lahan basah untuk kepentingan kegiatan tertentu harus memiliki batas tertentu, artinya penggunaan lahan ini tentu saja tidak sampai merusak atau mengubah ekosistem yang ada. Karena itu kawasan lahan basah yang masih alami dan mempunyai nilai yang tinggi harus merupakan wilayah yang dimasukkan dalam kawasan konservasi dan perlu dilindungi secara legal. Hal ini mengingat tekanan terhadap lingkungan lahan basah semakin tinggi karena adanya tuntutan kebutuhan manusia untuk memperluas penggunaan lahan bagi kepentingannya.

Dari fungsi dan peran yang berarti dari lahan basah tersebut maka perlu adanya pengaturan secara global. Keberadaan pengaturan internasional yang berkaitan dengan lahan basah dimaksudkan agar perlindungan terhadap kawasan ini dapat terjamin secara hukum. Artinya penghilangan kawasan lahan basah yang telah dilindungi tidak dilakukan begitu saja tanpa ada pihak yang bertanggungjawab mengingat telah banyak kawasan lahan basah di dunia ini telah berkurang.

Di Amerika Serikat lebih dari 50 % lahan basah yang ada pada jaman kolonial sekarang telah hilang. Di negara-negara berkembang telah terjadi perubahan lahan basah akibat penggunaan waduk dan saluran irigasi. (Elsworth, 1990:478-479). Mengenai berkurangnya lahan basah contoh yang sedang terjadi adalah di daerah Pantanal di Brazil mempunyai rawa-rawa seluas 110.000 km 2, yang mungkin terluas dan paling beragam di Amerika Selatan. Kawasan tersebut telah diklasifikasikan oleh UNESCO sebagai kawasan penting internasional. Sayangnya kawasan ini menderita akibat semakin meluasnya pertanian, pembuatan bendungan dan berbagai bentuk pembangunan lainnya (WCED,1987:203). Adanya pengaturan ini diharapkan beberapa lahan basah yang masih ada di dunia dapat dilindungi serta pengembalian kembali kawasan yang rusak untuk dikonservasi jika masih memungkinkan.

Sebenarnya usaha untuk mengatur masalah ini telah mulai dilakukan sekitar 30 tahun yang lalu. Di tahun 1961 atas inisiatif AQUA Project telah dibentuk suatu Masyarakat Internasional mengenai masalah Danau (Societas Internationalis Limnologiae). UNESCO juga menyebutkan bahwa danau dan sungai besar merupakan wilayah konservasi yang penting. Di tahun 1962 Konferensi MAR yang diadakan oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) yang sekarang dikenal dengan nama the World Conservation Union , the International Waterfowl Research Bureau (IWRB) dan International Council for Birds Preservation (ICBP) menyatakan untuk memfokuskan perhatian dan mengkoordinasi tindakan-tindakan mengenai konservasi lahan basah Palearctic. Hasil kerjasama selanjutnya adalah mengembangkan The Convention on Wetlands of International Importance Especially as Waterfowl Habitat. Selanjutnya Konvensi ini diadopsi di Ramsar, Iran tahun 1971 dan berlaku pada bulan Desember 1975 setelah deposit terakhir dilaksanakan oleh pemerintah Yunani (Dugan J.P,1987:6). Konvensi ini berada dalam daftar perjanjian internasional UNESCO yang mewakili organisasi internasional di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa. Kedudukan Sekretariat Jenderal Konvensi ini berada di kota Gland, Swiss dan memiliki kantor cabang di kota Slambridge, Inggris.

Sebagai suatu Konvensi Internasional yang pertama mengenai lahan basah, ternyata telah mampu menjadi perhatian berbagai pemerintah dan masyarakat internasional khususnya dalam menangani sumber-sumber alam yang ada pada lahan basah dan hewan migrasi (migran spesies) yang sangat tergantung pada sumber-sumber makanan di lahan basah. Hal ini berkaitan dengan adanya peningkatan kerusakan serta polusi yang terjadi secara lintas batas terhadap lahan basah ini . Sehingga hal ini menuntut adanya penyelesaian secara internasional dengan perlunya melibatkan kerjasama antar negara khususnya dalam pengelolaan serta pelestarian flora serta fauna yang termasuk dalam kategori spesies migran. Tindakan-tindakan untuk melaksanakan konvensi telah dilakukan antara lain dengan membentuk Ramsar Convention`s Database. Dengan suatu kerjasama antara World Conservation Monitoring Center (WCMC) dan dengan IWRB telah dikembangkan suatu konsep data dasar lokasi lahan basah berdasarkan Konvensi Ramsar. Dengan dukungan pemerintah Swiss dan Inggris proyek ini telah didemonstrasikan dalam pertemuan keempat para pihak penandatangan Konvensi Ramsar di kota Montreux , Swiss tahun 1990.

Dengan demikian konvensi ini juga telah memberikan kesadaran lingkungan khususnya kepeduliannya terhadap lahan basah. Karena itu dalam pertemuan-pertemuan global selanjutnya, masalah lahan basah merupakan issu yang menarik. Tahun 1990 masalah lahan basah ini telah dimasukkan dalam World Conservation Strategy. Januari 1992 di Dublin, Irlandia dalam WMO Conference, IUCN telah membantu mempersiapkan naskah mengenai peranan penting lahan basah, pengaturannya serta pengelolaannya pada lahan basah air tawar. Hasil dari Dublin ini merupakan salah satu masukkan dalam KTT Bumi di Rio De Janerio bulan Juni tahun 1992.

Konvensi Ramsar tahun 1971 merupakan suatu instrumen perjanjian internasional yang telah dibuat dan dibentuk untuk memobilisasi tindakan dan melindungi wilayah lahan basah dari kehilangan yang cepat di seluruh dunia. Konvensi Ramsar atau Wetlands Convention dengan nama lengkapnya adalah Conventions on Wetlands of International Importance, Especially as Waterfowl Habitat yang terdiri dari 12 pasal ini ditandatangani di kota Ramsar, Iran pada tanggal 2 Februari 1971 oleh 35 negara, 21 dari Eropa dan 13 dari negara berkembang. Konvensi ini kemudian baru berlaku pada tanggal 21 Desember 1975 setelah memenuhi syarat ratifikasi berlakunya konvensi. Tujuan dari terbentuknya Konvensi ini adalah menghindari hilangnya lahan basah dan menjamin pelestariannya, mengingat kepentingannya dalam proses ekologi dan kekayaan yang terkandung di dalamnya seperti spesies flora dan fauna. Karena itu para pihak peserta mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan setelah menandatangani atau tunduk pada konvensi ini. Kewajiban umum setiap pihak adalah menjaga pelestarian lahan basah di wilayah jurisdiksi teritorialnya dan kewajiban khususnya adalah turut serta melindungi lahan basah yang memiliki kepentingan internasional yang termasuk dalam daftar yang telah ditentukan konvensi.
Tahun 1985 ada 300 lokasi yang luasnya 200 juta hektar are telah ditetapkan dalam daftar internasional yang memiliki manfaat ekologi, pertanian, botani, zoologi, limnologi atau hidrologi (MacKinnon et al,1990:293). Sampai tahun 1992 ada 549 kawasan lahan basah di 65 negara (lebih dari 20 negara adalah negara berkembang sudah dimasukkan dalam daftar Konvensi (Birnie & Boyle,1992:466)

Pengakuan dari adanya saling ketergantungan antara manusia dan lingkungannya tercermin dalam Preambule Konvensi Ramsar 1971. Dikemukakan pula suatu alasan bahwa pentingnya perlindungan internasional untuk lahan basah semacam itu adalah karena fungsi ekologisnya yang telah berperan sebagai pengatur pengairan dan membentuk wilayah tersendiri bagi flora dan fauna khususnya burung unggas. Selanjutnya disebutkan bahwa lahan basah merupakan sumber utama perekonomian, kebudayaan, ilmu pengetahuan maupun nilai rekreasi, dengan hilangnya lahan basah sulit untuk dapat diganti.
Berdasar hal inilah maka lahan basah merupakan bagian dari habitat penting bagi flora dan fauna serta memiliki keterkaitannya dengan manusia yang tinggal di sekitar kawasan tersebut dan karenanya perlindungan harus dilakukan secara global.

Kemudian dalam Pasal 1 ayat (1) definisi dari lahan basah (wetland) adalah :
“areas of marsh, fen, peatland orwater, wheter natural or artificial, permanent or temporary, with water that is static or flowing, fresh, blockish or silt, including areas of marine water the depth of which at low tide does not exceed six meters”.

Dari definisi lahan basah di atas sebenarnya wilayah pantai yang kurang dari kedalaman 6 meter masih dianggap termasuk dalam definisi ini. Namun mengenai sejauhmana wilayah berlakunya masih perlu diperinci lagi mana yang termasuk daftar dalam konvensi ini. Karena itu Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa perlunya dibuat pilihan lahan basah untuk dimasukkan dalam suatu daftar yang didasarkan pentingnya makna internasional yang terkandung baik dari sudut ekologi, botani, zoologi, limnologi dan hidrologi. Pasal ini juga diperuntukkan bagi burung unggas dalam musim apapun perlu dimasukkan sebagai bagian dari lahan basah yang memiliki makna internasional.

Pasal 2 ayat (4) menyatakan :
Each contracting party shall designate at least one wetland to be included in the list when signing this Convention or when depositing its instrumen of ratification or accession, as provided in Article 9.
Dari pasal di atas telah ditetapkan persyaratan setiap anggota untuk memiliki sekurang-kurangnya sebidang lahan basah yang mempunyai makna internasional pada waktu negara tersebut menandatangani atau meratifikasi dan tunduk pada konvensi.

Pasal 2 ayat 6 menyatakan bahwa setiap negara anggota dapat dikatakan memiliki pertanggungjawaban secara langsung dan seketika setelah menandatangani konvensi ini, maksudnya negara anggota mempunyai kewajiban langsung untuk mengganti kerugian atas lahan basah yang hilang. Hal ini berkaitan dengan Pasal 4 (2). Pasal 3 menyatakan bahwa negara anggota merumuskan dan melaksanakan perencanaan sedemikian rupa sehingga mengembangkan konservasi dari lahan basah yang termasuk dalam daftar. Namun demikian diusahakan pula negara anggota dapat mengembangkan penggunaan arif (wise use) dari lahan basah yang ada di wilayah negaranya. Pasal tersebut menyatakan juga bila terjadi perubahan ekologis dari lahan basah yang masuk dalam daftar konvensi, negara anggota wajib memberitahukan kepada International Waterfowl Research Bureau (IWRB).
Selanjutnya Pasal 4 konvensi menyebutkan bahwa setiap negara anggota diwajibkan untuk mengembangkan lahan basah serta memperhatikan keberadaan burung unggas dengan mendirikan cagar alam di lahan basah, dengan tidak memperhatikan apakah lahan tersebut termasuk dalam daftar atau tidak. Juga diwajibkan pula untuk menyediakan penjagaan yang memadai.

Pasal 6 Konvensi Ramsar 1971 menyatakan bahwa perlunya ditetapkan konperensi yang teratur dan negara-negara anggota diwajibkan hadir serta diharapkan dapat memberikan rekomendasi mengenai konservasi, pengelolaan serta pengaturan secara bijaksana lahan basah beserta flora dan faunanya. Negara anggota menjamin bahwa rekomendasi tersebut akan memperoleh perhatian. Pasal 8 menyatakan IUCN akan melaksanakan kelangsungan tugas-tugas biro di bawah konvensi ini. Untuk memperkuat peranan konvensi ini maka sejak tahun 1988 telah didirikan kantor independen yang dikepalai oleh seorang Sekretariat Jenderal. (Birnie & Boyle,1992:465). Pasal 9 (2) menyebutkan mengenai tata cara bagaimana negara-negara dapat tergabung dalam konvensi ini. Adapun tata cara ini terbagi dalam 3 hal yaitu :
- Penandatanganan tanpa syarat bagi pengesahan.
- Penandatanganan sebagai dasar pengesahan yang
selanjutnya disyahkan.
- Tambahan (Accession).
Pasal 9 (3) mengenai penyimpanan dokumen (pendepositan) dilakukan kepada Direktur Jenderal UNESCO.

Setelah diberlakukan konvensi ini ternyata banyak menimbulkan masalah khususnya mengenai intrepretasi dan kewajiban yang dimiliki negara anggota peserta konvensi. Sebagai contoh apakah para pihak memiliki suatu kewajiban untuk menunjukkan lokasi yang didaftar di semua negara atau hanya di negaranya saja. Kelemahan lain yang penting adalah penggunaan istilah “wise use” (penggunaan yang bijaksana).
Dalam pertemuan di Regina, Saskatchewan (Canada) pada tanggal 27- 5 Juni 1987 telah dicapai suatu kemajuan yang penting. Kriteria penggunaan istilah “wise use” telah diperjelas dan disempurnakan sehingga dapat diterima oleh seluruh negara anggota. Kriteria menetapkan pilihan lahan basah juga telah dibuat dan khusus pada lahan basah yang memiliki makna internasional telah diidentifikasi dan dilampirkan dalam Annex Rekomendasi Regina. Ditetapkan pula suatu petunjuk mengenai penggunaan secara bijak dalam pengembangan lahan basah.

Kemudian para pihak peserta konvensi juga sepakat untuk mengadakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan konvensi. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan diadakannya pertukaran informasi dan pengalaman di antara negara anggota. Kemudian pengembangan kebijaksanaan serta peraturan yang berkaitan dengan konvensi. Diadakan pula tukar menukar tenaga ahli dalam bidang yang kelak akan mampu menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijaksanaan selanjutnya. Para pihak juga menyetujui didirikannya suatu Sekretariat Jenderal yang terlepas namun tetap dibawah koordinasi IUCN yang hal ini baru terlaksana setahun kemudian.

Pertemuan-pertemuan antar negara anggota sangat penting dalam melaksanakan konvensi ini. Pertemuan-pertemuan yang pernah diadakaan selama ini antara lain :
Tahun 1980 – Cagliari, Italia
Tahun 1982 – Paris, Perancis
Tahun 1984 – Groningen, Belanda
Tahun 1987 – Regina, Canada
Tahun 1990 – Montreaux, Swiss
Tahun 1992 – Dublin, Irlandia

Wilayah yang termasuk ekosistem lahan basah di Indonesia ternyata sangat luas yaitu sekitar 37 juta hektar are. Pulau Sumatera memiliki 13,5 juta hektar are, Jawa dan Bali 119 ribu hektar are, Nusa Tenggara 51 ribu hektar are, Kalimantan 10,2 juta hektar are, Sulawesi 605 ribu hektar are, Maluku 189,5 ribu hektar are dan yang terakhir adalah Irian Jaya seluas 12,8 juta hektar are. Namun luasnya lahan basah hampir setiap tahun terus berkurang. Hal ini dikarenakan semakin meningkatnya proyek pembangunan serta jumlah penduduk yang meningkat sehingga menimbulkan tekanan terhadap penggunaan serta peruntukan lahan basah.

Umumnya lahan basah yang ditemukan di Indonesia seperti endapan tanah rendah sesudah air pasang surut, genangan air, mangrove (hutan bakau) yang banyak terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Jenisnya dapat terdiri dari rawa pasang surut, rawa air tawar dan mangrove. Menurut Silvius (1989) ada 7 tipe lahan basah utama yang dimiliki Indonesia yaitu :
- Mangrove Forest
– Peat Swamp
– Freshwater Swamp
– Beach Vegetation
– Freshwater Lakes
– Seasonal Freshwater Swamp
– Seasonal Peat Swamp

Menurut Directory of Asian Wetland yang diterbitkan oleh IUCN, WWF, Asian Wetland Burau rawa pasang surut pada mulanya diduga sekitar 206.950 km 2 mengalami pengurangan sekitar 169.750 km 2 termasuk daerah perlindungan sekitar 16.700 km 2. Rawa air tawar berkurang sekitar 51.850 km 2 termasuk daerah perlindungan sekitar 10.250 km2 yang pada mulanya sekitar 115.600 km2. Sedangkan hutan bakau pada mulanya seluas 41.850 km2 berkurang sekitar 29.000 km2 termasuk derah perlindungan sekitar 6.700 km2.
Jenis lahan basah lainnya banyak ditemukan di berbagai wilayah Indonesia. Ada habitat sungai dan danau, dengan air terjun seperti yang terdapat di dekat danau Toba dengan air terjunnya Siguragura. Kemudian banyak wilayah hutan payau dan rawa-rawa di banyak wilayah sekitar daerah genangan atau sungai-sungai. Di Memberamo Irian Jaya terdapat danau yang unik dan tidak terdapat di tempat lain. Indonesia juga memiliki wilayah lahan basah buatan yang terbesar di dunia termasuk jutaan hektar sawah dan paling sedikit 200.000 ha terdiri atas tambak atau kolam.

Luasnya lahan basah di Indonesia sebenarnya perlu ada pengaturan secara khusus. Melalui Keputusan Presiden Nomor R.09/PRD/PU/X/1991 telah diratifikasi Konvensi Ramsar pada tanggal 19 Oktober 1991 dengan dilakukannya penetapan Taman Nasional Berbak sebagai daftar situs Konvensi Ramsar 1971.

Dalam pertemuan tahunan ke-18 Majelis Umum IUCN yang diadakan di kota Perth, Australia tahun 1990, dalam salah satu resolusinya telah memutuskan penambahan daftar wilayah konservasi yaitu Danau Eyre, Australia dan Hutan Bakau Teluk Bintuni di Irian Jaya ke dalam daftar konservasi Konvensi Ramsar 1971.
Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia telah ada peraturan yang secara tidak langsung berkaitan dengan lahan basah. Staatblad 1932 No 17 “Natuurmonumenten en Wildreservaten Ordonnantie” yang diganti oleh the Nature Protection Ordinance of 1941 (Statblad 1941 No 167). Setelah kemerdekaan dikeluarkan UU Perhutanan tahun 1967, melalui Undang-undang No 5 tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistem diatur beberapa wilayah lahan basah yang termasuk dalam kawasan penyangga kehidupan.
Pasal 9 (1) UU No 5 tahun 1990 menyebutkan bahwa:
“Setiap pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan dala sitem penyangga kehidupan wajib menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah tersebut.”

Kemudian dalam penjelasannya yang dimaksud dengan hak pengusahaan perairan adalah hak yang diberikan pemerintah untuk memnfaatkan sumber daya alam yang ada di perairan baik yang bersifat ekstratif maupun non-ekstratif bukan hak penguasaan atas wilayah perairan tersebut. Perairan Indonesia meliputi perairan pedalaman (sungai, danau, rawa dan genangan air lainnya), laut wilayah Indonesia dan Zone Ekonomi Eksklusif.

Jadi dari penjelasan di atas daerah lahan basah termasuk ke dalam wilayah pedalaman yang dalam pemanfaatannya tetap menjaga kelangsungan dari fungsi wilayah tersebut. Oleh karena itu jika ada hutan bakau yang berada wilayah yang dilindungi maka tidak boleh dirusak atau dihancurkan. Kasus ini pernah terjadi di Indonesia di mana hutan bakau di wilayah Muara Angke (Jakarta) telah direklamasi untuk dibuat perumahan Pantai Indah Kapuk.

Dalam Keputusan Presiden No 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, tertanggal 25 Juli 1990 menyebutkan beberapa jenis lahan basah yang dilindungi. Pasal 1 no 4 dan 11 menyebutkan jenis tersebut seperti :
Kawasan bergambut adalah kawasan yang unsur pembentuk tanahnya sebagian besar berupa sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu yang lama.

Kawasan pantai berhutan bakau adalah kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove) yang berfungsi memberikan perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan.

Pasal 4 Keppres tersebut menyebutkan :
“Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 terdiri dari:
1. Kawasan Hutan Lindung
2. Kawasan Bergambut
3. Kawasan Resapan air
Jadi kawasan bergambut dapat dikategorikan sebagai kawasan lindung secara tidak langsung.

Pasal 5 menyatakan :
” Kawasan perlindung setempat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 terdiri dari :
1. Sempadan Air.
2. Sempadan Sungai
3. Kawasan sekitar Danau/Waduk
4. Kawasan sekitar Sungai

Pasal 6 menyatakan :
“Kawasan suaka alam dan cagar budaya sebagaimana di maksud dalam pasal 3 terdiri dari :
1. Kawasan Suaka alam
2. Kawasan Suaka Alam Laut dan Perairan Lainnya
3. Kawasan Pantai Berhutan Bakau
4. Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata
Alam
5. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan.

Mengenai kriteria kawasan-kawasan ini diatur kemudian dalam beberapa pasal antara lain Pasal 10 berbunyi:
“Kriteria kawasan bergambut adalah tanah bergambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa.”

Pasal 27 menyatakan:
Kriteria kawasan hutan bakau adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang teringgi danterendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat.”

Pasal 26 menyatakan :
“Perlindungan terhadap kawasan pantai berhutan bakau dilakukan untuk melestarikan hutan bakau sebgi bentuk ekosistem hutan bakau dan tempat berkembangbiaknya berbagai biota laut di samping sebagai pelindung pantai dan pengikisan air laut serta pelindung usaha budidaya di belakangnya.”

Dalam Keputusan Menteri Kehutanan No 399/Kpts-II/90 tentang Pedoman Pengukuhan Hutan, Tertanggal 6 Agustus 1990 dalam pasal 15 bagian c menyebutkan pula bahwa pada trayek batas yang melalui rawa-rawa di pasang pal batas dari kayu helam bulat atau jenis lain kelas I/II atau pohon batas.
Maksud dari peraturan ini adalah bahwa dalam mengatur mengenai batas kawasan lindung serta penataannya perlu diberikan kepastian hukum dan khusus yang berkenaan dengan daerah rawa maka batas tersebut ditentukan dengan kriteria seperti pada pasal ini. Hal yang terpenting adalah Pengumuman Menteri Kehutanan Mei 1993 yang menyebutkan diperluasnya area konservasi terestrial dari 19 juta ha menjadi 30 juta ha dengan penekanan pada lahan basah termasuk mangrove.

Kelembagaan nasional yang sementara ini memiliki otorita konservasi lahan basah telah dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (Dirjen PHPA). Dalam ratifikasi konvensi Ramsar 1971 maka sebagai Managemen Administratif Indonesia adalah Departemen Kehutanan c.q. Dirjen PHPA yang dapat mengkoordinasi serta bekerjasama dengan instansi lain sehingga diharapkan dapat terbentuk Komite Nasional mengenai lahan basah (Dirjen PHPA,1994)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar