MSP Online Kuliah ONline

Ruang Sederhana bagi Gathering & Sharing Informasi dan Materi Referensi Ilmiah Populer

Selasa, 18 September 2012

Sustainable Wastewater Treatment Chemicals in a dairy

Courtesy of Atana Limited
Aug. 31, 2012
0.511.522.533.544.55 (0 votes)
Problem/Definition

Atana Ltd has been tasked in reducing sludge generation produced at the sites effluent plant by introducing a new chemical regime. This would bring considerable savings on their daily running costs; reduce the need for hazardous substances and prevent any corrosive issues through the removal of inorganic chemicals. The plant also has consent issues with FOG and Suspended Solids along with reliability issues of dosing PAC and maintaining coagulation.
Site Specific Background
Current physical set up to manage waste water
Reception tank > Aqua rake > Balance tank 150m³ > DAF similar to Puriflow DAF > sewer
Trade Consent
  • Daily flow 150m³ per 24 hours
  • COD 3000mg/l
  • BOD 2000mg/l
  • pH 5-11
  • FOG 200mg/l
  • TSS 1000mg/l
Current chemical treatment regime to manage waste water
Sodium Hydroxide (32%) & Hydrochloric Acid (28%) used for pH correction (set at 10.5) into balance tank as required. 1000 litres per week ordered currently at Acid £126/1000ltrs, Caustic £261/1000ltrs.

Hydrochloric Acid (28%) used for pH correction into the influent poly mix chamber of DAF.

PAC used as a coagulant at approx. 10000 litres / 6-8 weeks at £1650/10000ltrs.

Anionic polymer used as a Flocculant at approx 1000 litres pure product/12 month period at £1050/IBC.

Sludge generation after dewatering equates to 26m³ every 10 days (3 per month max) @ £1100/tanker

Annual costs equate to £73,150.00
Atana’s chemical treatment regime to manage waste water

Sodium Hydroxide (32%) & Hydrochloric Acid (28%) used for pH correction (altered to 7.5) into balance tank as required. 1000 litres every 3 weeks ordered at Acid £126/1000ltrs, Caustic £261/1000ltrs. This is currently being optimized further.

Hydrochloric Acid (28%) used for pH correction into the influent poly mix chamber of DAF.

Cofloc SG10 vegetable coagulant used to replace PAC. Cost £595.00/1000 litres approx. every 2 weeks.

Trufloc TF300C Cationic polymer used as a Flocculant at approx 25 litres pure product/2.5 week period at £105.00/25kg pail.

Sludge generation without being dewatered equates to 26m³ every 21 days @ £1100/tanker, *Dewatering the sludge holding tank could improve sludge uplift days further.

Note: Sludge samples are currently being analysed for alternate disposal method which could potentially remove sludge disposal costs or be a revenue stream.

Annual costs equate to £43,480.00
Summary
To summarise the work done so far, we have achieved a minimum of a 50% reduction in sludge volumes. Grab samples by the local water authority laboratory have seen all consent levels met for the first time with one result giving FOG 25mg/l and Suspended Solids 139mg/l. The regular operators of the Effluent Treatment Plant are very impressed at the plants consistent performance.

Sabtu, 04 Agustus 2012

Contoh Logika Dalam MS Excel

Identifikasi Terumbu Karang

suku Agariicidae Marga Pavona, karang ini warnanya coklat muda atau coklat tua, umumnya hidup di dekat tubir dan tersebar luas diseluruh perairan Indonesia...

Astrocoiinidae marganya palaustrea. gambar ini menunjukkan Palaustrea ramosa. warnanya abu-abu kecoklatan dengan ujung koloni putih...

kemudian di bawah ini adalah Chatalaphyllia jardinei dari suku Caryophyllidae marga Chatalaphyllia. Mirip kayak sea anemon. warnanya coklat ato hijau.

Berikut ini adalah Dendrophyllidae dengan marga Turbinaria. Contohnya Turbinaria frondes

Senin, 23 Juli 2012

Blooming..???? Why????

Red tide atau blooming plankton merupakan fenomena yang terjadi akibat ledakan perkembangan yang begitu cepat dari jenis fitoplankton, misalnya Ptychodiscus brevis, Prorocentrum, Gymnodinium breve, Alexandrium catenella dan Noctiluca scintillans dari kelompok dinoflagelata (Phyrropyta) yang dapat menyebabkan perubahan warna dan konsentrasi air secara drastis, kematian massal biota laut, perubahan struktur komunitas ekosistem perairan, bahkan keracunan dan kematian pada manusia.

Ciri-ciri terjadinya Red Tide atau blooming plankton:
Perubahan warna air laut atau estuaria dari hijau biru menjadi merah, merah kecoklatan, hijau atau kuning hijau.
Kematian biota laut    
Perubahan bau.

Faktor Pemicu Ledakan Populasi :
Populasi blooming fitoplankton di suatu  peraian disebabkan oleh  faktor-faktor lingkungan perairan sebagai berikut:
 

Upwelling
Upwelling sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi ledakan alga, dapat didefinisikan sebagai peristiwa menaiknya massa air laut dari lapisan bawah ke permukaan (dari kedalaman 150 – 250 meter) karena proses fisik perairan. Proses upwelling terjadi karena kekosongan massa air pada lapisan permukaan, akibat terbawa ke tempat lain oleh arus. Upwelling dapat terjadi di daerah pantai dan di laut lepas. Di daerah pantai, upweling dapat terjadi jika massa air lapisan permukaan mengalir meninggalkan pantai. Untuk laut lepas, proses upwelling dapat terjadi karena adanya pola arus permukaan yang menyebar (divergence), sehingga massa air dari lapisan bawah permukaan akan mengalir ke atas mengisi kekosongan yang terjadi karena menyebarnya arus. Adanya proses ini ditandai dengan turunya suhu permukaan laut yang cukup mencolok (sekitar 2oC untuk daerah tropis, dan > 2oC untuk daerah sub tropis). Upwelling dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:
Jenis tetap (stationary type), yang terjadi sepanjang tahun meskipun intensitasnya dapat berubah ubah. Di sini akan berlangsung gerakan naiknya massa air dari lapisan bawah secara mantap dan setelah mencapai permukaan, massa air bergerak secara horizontal ke luar, seperti yang terjadi di lepas pantai Peru.
Jenis berkala (periodic type) yang terjadi hanya selama satu musim saja. Selama air naik, massa air lapisan permukaan meninggalkan lokasi air naik, dan massa air yang lebih berat dari lapisan bawah bergerak ke atas mencapai permukaan.
Jenis silih berganti (alternating type) yang terjadi secara bergantian dengan penenggelaman massa air (sinking). Dalam satu musim, air ringan di lapisan permukaan bergerak ke luar dari lokasi terjadinya air naik dan air lebih berat di lapisan bawah bergerak ke atas yang kemudian tenggelam.

Pada musim semi sering terjadi pelimpahan plankton, Musim semi membawa suhu hangat dan sinar matahari meningkat, menciptakan termoklin yang memerangkap nutrisi pada permukaan laut. Hal ini memungkinkan fitoplankton untuk menyerap energi dan mengambil dalam nutrisi yang mereka butuhkan untuk berfotosintesis dan berkembang biak. Nutrisi (unsur hara) yang melimpah dalam perairan untuk energy dan pertumbuhannya, sehingga meningkatkan pertumbuhan fitoplankton dengan cepat.


Masuknya nutrisi atau eutrofikasi 

Masuknya nutrisi atau eutrofikasi ke dalam laut bertanggung jawab terhadap terjadinya proses peledakan algae, baik itu mikro algae yang berkembang di daerah perairan dangkal atau di perairan yang dalam yang dapat berasosiasi dengan endemic hipoksia di dasar. Adanya hujan lebat juga berpeluang membawa nutrisi serta masuknya air tawar ke laut dalam jumlah yang besar.

Penolakan pemakanan
Penolakan pemakanan oleh predator herbivora terhadap jenis plankton yang beracun

Dampak Red TidePeningkatan populasi fitoplankton yang sangat tinggi dan cepat akan berakibat pada beberapa hal, antara lain 1. Ikan dan Kerang :
Tingginya populasi fitoplankton di dalam air, ini  akan menyebabkan berbagai akibat negatif bagi ekosistem perairan, seperti : O2 berkurang sehingga air mengandung racun yang menyebabkan kematian organisme yang ada dalam perairan seperti ikan,Terjadinya kontaminasi sea food, dan  perubahan struktur komintas ekosistem

2. Manusia
Penyakit atau kematian manusia melalui konsumsi makanan laut yang terkontaminasi oleh alga beracun
Sistem saraf, pencernaan dan pernapasan terganggu
Iritasi kulit dan mata

3. Perikanan
Toksin yang dihasilkan oleh melimpahnya suatu kelompok fitoplankton (dinoflagelatta) sehingga membunuh organisme seperti ikan.
Kerusakan mekanik organisme lain, seperti gangguan jaringan epitel insang pada ikan, sehingga asfiksia
Menghilangnya ikan-ikan dari lokasi penangkapan atau terjadinya kematian massal pada ikan.

4.      Ekonomi
Hasil tangkapan nelayan menurun.
Hasil pendapatan penjual ikan/warung sea food bisa berkurang.

Fenomena Algae Blooming

Algae blooming seperti kita ketahui bersama merupakan salah satu masalah ekosistem yang cukup mendapat perhatian serius. Sebelumnya bagi yang belum mengenal apa itu blooming alga (algae blooming), saya akan menjelaskan sedikit kepada para pembaca.

Blooming alga (algae blooming) merupakan suatu peristiwa "meledaknya" populasi algae pada suatu ekosistem air (aquatic system). Blooming alga dapat terjadi baik di ekosistem air tawar maupun air asin (laut). Biasanya, diakibatkan oleh satu atau beberapa jenis fitoplankton (phytoplankton) yang memiliki pigmen warna misalkan hijau, biru atau merah.

Dikatakan meledak atau 'bloom' jika perbandingan konsentrasi algae mencapai ratusan hingga ribuan bahkan ada yang mencapai jutaan sel per mililiter. Biasanya fenomena blooming alga ini berwarna hijau, namun pernah juga ditemui warna kuning kecoklatan, merah itu semua bergantung pada spesies dan pigmen warna yang dibawanya.

Fenomena dapat terjadi dikarenakan banyaknya nutrisi yang ada pada perairan tersebut. Nutrisi tersebut diperoleh dari proses eutrofikasi. Proses eutrofikasi yakni proses pencemaran air dengan zat-zat makanan atau nutrien yang berlebih ke dalam ekosistem air. Proses eutrofikasi bisa berasal dari limbah rumah tangga dan pemberian pupuk yang berlebihan pada lahan pertanian sehingga sebagian dari pupuk tersebut ikut terlarut ke dalam perairan. Terutama kandungan ion fosfat (PO3-) dan Nitrogen (N) yang ternyata menguntungkan bagi beberapa spesies alga. Dan inilah yang akan menyebabkan populasi alga menjadi tidak terkontrol.

Bukan tanpa akibat. Fenomena ini cukup menjadi masalah yang serius apabila tidak segera di tangani. Apabila tidak segera ditangani, fenomena ini akan menyebabkan ikan, atau organisme lain yang masih satu ekosistem mengalami kematian. Kematian ini lebih disebabkan karena kekurangan zat makanan dan kekurangan cahaya matahari. Karena alga yang hidup di permukaan air akan menghalangi sinar matahari masuk ke dasar perairan. Dan ada pula spesies alga yang juga memproduksi toksin, yang tentu merugikan organisme lain termasuk manusia.

Salah satu fenomena terkini terjadinya algae blooming yakni yang terjadi di Qingdao sebuah pantai yang ada China tepatnya di provinsi Shandong di China bagian Timur. Algae blooming ini membuat perairan pantai ini menghijau. Hampir 30 ton, alga menutupi pantai ini.


 

Blooming algae di Qingdao, China, 2011

Tapi, justru ada keindahan di balik fenomena ini. Jika dilihat dari kamera satelit fenomena blooming algae bagaikan sebuah lukisan atau bagaikan fenomena aurora di kutub Utara maupun Selatan. Seperti yang terjadi di Inggris, dan Laut Baltik. Semoga bermanfaat, ada komentar ?

Algae blooming di Inggris 1999

Algae blooming di Laut Baltik 2005

RED TIDE; Harmfull m-Alga Bloom (HAB)

Red tide adalah suatu keadaan di mana air, terutama air laut mengalami perubahan warna akibat dari ledakan populasi (blooming) dari fitoplankton. Perubahan warna yang terjadi dapat berupa warna merah, coklat, ungu, kuning, hijau dan lain-lainnya. Istilah red tide saat ini populer dikenal dengan istilah Harmfull m-Alga Blooms (HAB), karena tidak semua alga yang blooming menyebabkan kematian dan tidak semunya berwarna merah. Saat ini jumlah fitopalnkton yang dapat menyebabkan HAB ada sekitar 50 jenis dan hampi semuanya dari kelompok dinoflagelata. Kelompok lain hanya terdiri atas marga diatom sebanyak tiga jenis dari marga Pseudonistzchia (Praseno, 1993).
Pada sisi lain, HAB merupakan fenomena yang terjadi akibat ledakan perkembangan (blooming) yang begitu cepat dari sejenis fitoplankton, misalnya Ptychodiscus brevis, Prorocentrum, Gymnodinium breve, Alexandrium catenella dan Noctiluca Scintillans dari kelompok Dinoflagellata (Pyrrophyta) yang dapat menyebabkan perubahan warna dan konsentrasi air secara drastis, kematian massal biota laut, perubahan struktur komunitas ekosistem perairan, bahkan keracunan dan kematian pada manusia. Hal ini disebabkan oleh setidaknya empat factor, yaitu pengayaan unsur hara dalam dasar laut atau eutrofikasi, perubahan hidro-meteorologi dalam sekala besar, adanya gejala upwelling yaitu pengangkatan massa air yang kaya akan unsur hara ke permukaan, dan akibat hujan dan masuknya air tawar ke laut dalam jumlah besar.
Keempat faktor itu, menurutnya, merupakan faktor penyebab terjadinya red tide spesies fitoplankton pyrrophyta berwarna merah. Spesies ini akan hilang dengan sendirinya, bila ekosistem dalam air kembali seimbang, yaitu kembali pada kondisi normalnya. HAB biasanya terjadi pada air pesisir pantai dan muara, jumlah fitoplankton berlebih di sebuah perairan berpotensi membunuh berbagai jenis biota laut secara massal. Pasalnya, keberadaan fitoplankton mengurangi jumlah oksigen terlarut.Kemungkinan lain, insang- insang ikan penuh dengan fitoplankton. Akibatnya, lendir pembersihnya menggumpal karena fitoplanktonnya berlebih dan ikan pun sulit bernapas.
Fenomena pasang merah (“red tide”) ini merupakan peristiwa alam yang umumnya terjadi. Namun demikian red tide tidak selalu berwarna merah, ada kemungkinan berwarna kuning atau coklat tergantung jenis fitoplankton yang meyebabkan terjadinya red tide tersebut. Pyrrophyta atau lebih dikenal sebagai Dinophyceae atau Dinoflagellata merupakan protista yang hidup di laut atau air tawar. Pyrrophyta dinamakan pula sebagai Dinoflagellata karena mempunyai sepasang flagella yang tidak sama panjang.
Dinoflagellata dalam jumlah yang kecil sebagai penyusun komunitas plankton laut, tetapi lebih melimpah di perairan tawar. Fenonema menarik yang dihasilkan oleh Pyrrophyta adalah kemampuan bioluminescence (emisi cahaya oleh organisme), seperti yang dihasilkan oleh Noctiluca, Gonyaulax, Pyrrocystis, Pyrodinium dan Peridinium sehingga menyebabkan laut tampak bercahaya pada malam hari.
Fenomena lainnya adalah pasang merah (red tide) yaitu terjadinya blooming Pyrrophyta dengan 1- 20 juta sel per liter. Red tide dapat menyebabkan: Kematian ikan dan invertebrata, jika yang blooming adalah Ptychodiscus brevis, Prorocentrum dan Gymnodinium breve. Kematian invertebrata jika yang blooming adalah Gonyaulax, Ceratium dan Cochlodinium. Kematian organisme laut, yang lebih dikenal sebagai paralytic shellfish poisoning, jika yang blooming adalah Gonyaulax dan Alexandrium catenella.
Di beberapa Negara, seperti Jepang, Australia, Selandia Baru, Fiji, Papua Nugini, Hongkong, India, Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, dan beberapa Negara lainnya melaporkan bahwa masalah yang ditimbulkan HAB merupakan masalah serius. Beberapa pusat budidaya ikan, udang, dan kerang hacur akibat HAB, bahkan kasus keracunan dan kematian manusia akibat memakan ikan atau kerang yang terkonatminasi HAB sudah sering dilaporkan.
Di Indonesia pernah terjadi peristiwa kematian massal ikan beserta kasus keracunan dan kematian manusia akibat HAB pertama kali dialporkan terjadi di flores pada tahun 1983. Selain itu juga pernah terjad di Ujung Pandang pada bulan Agustus 1987 dan di Kalimantan Timur pada bulan Januari 1988. Kasus keracunan ini diduga kuat disebabkan oleh fitoplankton jenis Pyrodinium bahamense. Jenis ini dapat menghasilkan racun saxitosin yang dapat menyebabkan penyakit Paralytic Shellfish Poisoning (PSP) pada manusia dan hewan (Adnan 1990).
Di Jakarta pertama kali dilaporkan terjadi peristiwa HAB pada tanggal 31 Juli 1986. Kejadian ini tampak pada beberapa ikan yang mati mengapung di atas air laut yang pada mulanya banyak beranggapan hal ini disebabkan oleh pembuangan bahan kimia dan limbah ke laut. Kemungkinan perairan di teluk Jakarta sudah mengalami eutrofikasi yang menjadi faktot utama terjadinya HAB (Sutomo, 1993).
KASUS HAB (“RED TIDE” DI INDONESIA)
A. HAB di Teluk Jakarta
Kematian ribuan ikan di Teluk Jakarta sejak 6 Mei, 2004 telah menyita perhatian masyarakat di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Masyarakat ibukota dikecam ketakutan mengkonsumsi ikan yang kematiannya disinyalir akibat keracunan limbah buangan industri, sementara nelayan tidak kalah resah dengan rendahnya hasil penjualan ikan mereka jauh di atas rata-rata. Di lain pihak polemik melanda institusi pemerhati lingkungan dan pemerintah, sehubungan dengan interpretasi kepastian kematian ribuan ikan tersebut yang sampai saat ini belum diketahui penyebabnya secara ilmiah. Analisis sementara yang diberikan Departemen Kelautan dan Perikanan menyatakan telah terjadi perkembangan (blooming) yang begitu cepat sejenis fitoplankton Noctiluca scintillans dari kelompok Dinoflagellata, terutama dari jenis yang menyebabkan perairan terlihat berwarna merah pada kondisi "Red Tide".
Kondisi HAB sebenarnya tidak selalu membahayakan, karena spesies plankton yang berbahaya hanya sebagian kecil dari konsentrasi plankton aman secara keseluruhan dan hampir tidak pernah mencapai kepadatan yang bisa menyebabkan perubahan warna pada perairan. Namun demikian, walaupun kecil, spesies plankton tersebut mengandung racun yang dapat mempengaruhi rantai makanan dan selanjutnya membunuh zooplankton, ikan, burung dan mamalia laut bahkan manusia. Kondisi ini diperburuk dengan tingginya angka pencemaran laut di Teluk Jakarta akibat buangan limbah industri dan aktivitas rumah tangga yang menjadi isu utama masyarakat dewasa ini.
Limpahan air sungai (river discharge) yang mengangkut zat hara dan buangan limbah organik akibat aktivitas rumah tangga dan industri merupakan kandidat utama pemicu terjadinya HAB di Teluk Jakarta. Meningkatnya intensitas curah hujan pada akhir bulan April 2004 di sekitar wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (jabotabel) memberikan akumulasi pengayaan zat hara di perairan Teluk Jakarta sebagai akibat suplay limpahan air sungai yang terus menerus. Kondisi optimal diketahui mencapai puncaknya pada minggu pertama bulan Mei 2004, dan hal ini yang menguatkan analisis limpahan air sungai (river discharge) sebagai penyebab kematian sebagian ratusan ikan mati pada tanggal 6 Mei 2004. Efek berantai dari pola rantai makanan menyebabkan kematian ikan secara massal pada tanggal 8 dan 9 Mei, 2004.
Selain itu, faktor batimetri, yaitu kedangkalan dan gundukan (sill) yang terdapat di mulut Teluk Jakarta dapat menyebabkan kenaikan tinggi gelombang dan penguatan arus pasut serta percampuran secara turbulen (turbulent mixing) di seluruh kolom perairan akibat efek gesekan dengan dasar laut.
Aktivitas ini dapat membentuk pertemuan dua regim kontras oleh arus pasut (tidal front) yang ditandai dengan perbedaan densitas mencolok secara horisontal. Menurut kaidah geostrofik, maka efek Coriolis akan mengimbangi perbedaan tekanan yang menyebabkan arus kuat sepanjang area pertemuan dua regim tersebut (front). Apabila kedua gaya tersebut tidak lagi seimbang, maka akan terbentuk sirkulasi vertikal pada lokasi front yang memindahkan melimpahnya zat hara dari kedalaman ke permukaan. Hal ini akan merangsang pertumbuhan fitoplankton dan selanjutnya red tide dalam skala waktu yang lebih cepat.
B. HAB di Perairan Indramayu-Cirebon
Merebaknya teka teki gejala munculnya Sabuk Hitam (Nelayan Cirebon Berhenti Melaut: PR 6 Mei 2005) telah membawa konsekuensi meningkatnya keseriusan instansi-instansi yang berwenang untuk lebih serius memberikan perhatian serta upaya untuk segera melakukan penanggulangan dampak yang semakin nyata dan meluas. Prakarsa yang dilakukan Dinas Pertambangan dan Lingkungan Hidup (DPLH) Kab. Indramayu dan Dinas Pertambangan, Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DPKLH) Kab. Cirebon untuk melakukan koordinasi atas teka teki ini merupakan langkah awal yang patut diberikan acungan jempol, karena lebih berorientasi pada upaya penanggulangan darurat daripada berkutat mempertanyakan pihak-pihak yang patut dipersalahkan. Respons yang diberikan pihak terkait lainnya seperti Pertamina UP VI, Pertamina DOC-JBB, UPMS III Balongan, serta BP West Java juga merupakan langkah maju untuk mengungkap teka teki Sabuk Hitam ini. Sementara itu, serentaknya upaya penanggulangan atas bukti cemaran minyak mentah (crude oil) yang terdampar di tiga pulau yaitu pulau Biawak, Gosong dan Cendekian diharapkan akan mempercepat pemulihan lingkungan di kawasan pulau-pulau tersebut, sekaligus mengungkap dari mana sumber cemaran minyak ini berasal.
Dugaan telah terjadinya pertumbuhan algae yang sangat pesat (Blooming algae atau Harmfull Algal Bloom) seperti yang dikemukakan Staf Ahli dari DPKLH Kab. Cirebon (Misteri Sabuk Hitam Diduga Blooming Algae: PR 17 Mei 2005), juga merupakan masukan yang cukup beralasan karena pada tahun 2003 para peneliti BATAN bersama dengan Universitas Atmajaya dan Puslitbang Geologi Kelautan (PPPGL) telah menemukan adanya kista yang diduga merupakan kumpulan algae menyerupai jenis Dynoflagellate pada sedimen dasar laut di sekitar perairan Cirebon. Hal ini memberikan indikasi bahwa peluang terjadinya blooming algae ini memungkinkan jika nutrisi atau zat hara disekitar perairan melimpah dan sinar matahari cukup menghangatkan perairan sehingga kista yang berada di dasar laut akan mengalami proses percambahan (germination) dan pecah sehingga sel-sel algae di dalam kista tadi keluar menyebar. Sinar matahari akan mempercepat proses pembelahan sel menjadi sejuta kali dalam waktu dua sampai tiga minggu. Jika algae ini memiliki pigmen warna merah maka limpahan algae yang mengambang di perkukaan laut ini akan mewarnai perairan menjadi merah sehingga fenomena ini disebut ”Red Tide”. Red Tide lazim terjadi pada perairan dangkal atau muara, dimana akibat adanya banjir di muara sungai menyebabkan arus dasar laut mengaduk dasar perairan yang mengakibatkan kista-kista algae yang berada di dalam sedimen lumpur ini teraduk dan terangkat ke permukaan dasar laut. Jika kandungan oksigen cukup dan temperatur perairan cukup hangat maka kista-kista tadi pecah dan sel algae berhamburan melayang pada kolom air laut. Nutrisi dan zat hara yang terbawa aliran sungai ke laut mempercepat pembelahan sel algae ini sehingga menyebabkan blooming algae secara berlimpah. Berlimpahnya algae ini menutupi permukaan laut pada malam hari dan turun menyelam ke bagian bawah pada siang hari, sehingga kenampakannya sulit terlihat pada siang hari. Arus permukaan laut biasanya mengangkut limpahan algae ini membentuk sabuk memanjang mengikuti arah arus, namun jika arus laut tidak cukup kuat maka limpahan algae ini membentuk kawasan perairan dengan rona merah, kadang-kadang bercampur warna coklat atau hitam tergantung dari pigmen jenis algae dominannya. Berlimpahnya algae di permukaan laut juga telah mengakibatkan berkurangnya kandungan oksigen pada kolom air di bawahnya, akibatnya mahluk hidup lain seperti ikan-ikan kecil akan mati lemas kekurangan oksigen. Selain itu, jika jenis algae ini beracun, maka ikan-ikan besar yang memakan algae ini juga ikut teracuni, biasanya akan mengalami lumpuh dan bahkan mati beberapa saat kemudian. Berlimpahnya algae ini juga mengakibatkan keracunan mahluk hidup lainnya seperti kerang-kerangan yang hidup di dasar laut. Kerang yang teracuni algae ini sangat beracun jika dikonsumsi manusia karena mempunyai akumulasi kandungan racun yang lebih tinggi dibandingkan jenis ikan. Hal lain yang merupakan ciri booming algae adalah kelaziman terjadinya di kawasan pantai, sangat jarang terjadi di laut lepas karena ummunya kista-kista algae ini hidup dalam bentuk Alexandrium istirahat tertimbun sedimen lumpuran sampai tahunan di perairan dangkal. Dengan demikian, dugaan adanya indikasi booming algae sebagai Sabuk Hitam diperairan Cirebon atau Indramayu yang berjarak 10-15 Km dari garis pantai kemungkinannya sangat langka. Namun demikian, jika memang ditemukan data adanya pertumbuhan algae di laut lepas akan merupakan data baru yang cukup signifikan untuk diteliti lebih lanjut.
Dugaan Sabuk hitam di perairan lepas pantai sebagai apungan tumpahan minyak (oil spill) nampaknya lebih mendekati kenyataan, karena oil spill dapat terjadi di perairan dangkal atau lepas pantai, tergantung dari sumbernya. Bentuk luasan oil spill ini biasanya memanjang sesuai dengan arah arus dominan. Namun di perairan Laut Jawa di mana arus dominan merupakan arus pasang surut yang berbalik arah dua kali sehari maka diperkirakan arah orientasi Sabuk Hitam ini memanjang timur-barat. Kenampakan oil spill ini hanya dapat dilihat secara visual jika gelombang relatif tenang, sedangkan pada saat gelombang besar maka sulit untuk dikenali. Dengan kata lain, sulit untuk memperkirakan luasan sebarannya hanya berdasarkan pengamatan visualisasi saja. Teknik yang umum untuk mendeteksi bentuk serta luasan sebaran oil spill ini adalah menggunakan Synthetic Aperture Radar (SAR) yang memanfaatkan hamburan balik (backscatter) gelombang mikro yang intensitasnya berkurang pada lapisan oil spill. Rona oil spill pada rekaman SAR umumnya berwarna hitam sedangkan rona latar air laut berwarna lebih cerah.
Jika indikasi tumpahan minyak ini telah terpetakan maka berbagai upaya penanggulangan dapat dilakukan agar tidak meluas dan merusak lingkungan laut. Peralatan yang umum digunakan dalam penanggulangan tumpahan minyak adalah Oil Boom yaitu perangkap lapisan minyak menggunakan sistem pelampung terapung, Oil Skimmers sebagai penyaring yang memisahkan minyak dan air, Hydro-Fire Boom menggunakan air yang dibekukan kemudian tumpahan minyak dibakar di tempat (insitu), dan Dispersant Spray Equipment menggunakan dispersant kimiawi untuk membuyarkan lapisan tumpahan minyak yang cukup tebal. Penggunaan perangkat lunak untuk pemodelan merupakan cara analitis yang cukup ampuh untuk mendeteksi letak sumber tumpahan minyak. Salah satu perangkat lunak yang sering digunakan adalah Fluidyn-FLOWCOAST yang dikembangkan dari pemodelan hidrodinamika fluida. Keunggulan pemodelan ini adalah disamping dapat memodelkan pergerakan tumpahan minyak dari waktu kewaktu, juga dapat menghitung penurunan kadar tumpahan minyak oleh deposisi pantai (oil retention capacity of the shoreline).
Ditinjau dari prakarsa yang perlu ditempuh pada kasus Sabuk Hitam di perairan Indramayu dan Cirebon, maka pengambilan sampel tumpahan minyak di tempat-tempat yang representatif akan menggiring analisis dari mana sumber tumpahan minyak itu berasal. Oleh sebab itu, untuk menjawab teka-teki keberadaan Sabuk Hitam ini sangat diperlukan kerja sama semua pihak untuk memberikan data temuan seobjektif mungkin. Kemungkinan sumber cemaran sementara ini adalah berasal dari sumber-sumber bergerak seperti bocornya kapal tanker pengangkut minyak mentah atau secara sengaja dibuang ke laut, kebocoran pipa-pipa penyalur bawah laut (submarine pipeline), rembesan minyak pada sumur-sumur eksplorasi dan eksploitasi anjungan pemboran minyak lepas pantai, ataupun kebocoran pada ujung lubang bor dasar laut (seabottom well head) merupakan sumber-sumber yang patut dipantau secara ketat, karena perairan Laut Jawa Barat merupakan kawasan kegiatan pemboran minyak dan gas yang cukup intensif.
DAFTAR PUSTAKA
Admin. Red Tide; Perubahn warna Air Laut. http: klutuk.co.cc. Tanggal Akses 22 Juni 2010.
Adnan Q. Keracunan Makan Kerang dan Red Tide Suatu Fenomena Alam di Indonesia. Lustrum VII Fakultas Biologi UGM. Jogjakarta, 1990.
Homepage Departemen Kelautan dan Perikanan, http://www.dkp.go.id. Tanggal Akses 22 Juni 2010.
Homepage http://e450.colorado.edu/realtime/welcome/. Tanggal Akses 22 Juni 2010.
Lubis, S. Teka Teki Sabuk Hitam dan ”Red Tide” di Perairan Indramayu-Cirebon, Dua Gejala Kelautan yang Sangat Berbeda. Puslitbang Geologi Kelautan. Jakarta, 2009.
Praseno, DP. Studi “Red Tide” dan Pemantauannya. Ceramah Interen P2O LIPI. Jakarta. 1993
Sutomo. Kejadian Red Tide dan Kematian Massal Udang Jebbung (Peaneus murguensis) dan Udang Windu (Peaneus monodon) dalam Budidaya Jaring Apung di Muara Keramat Kebo, Teluk Naga, Tanggerang. Puslit Oseanografi LIPI. Jakarta, 1993.
Syamsyudin, F. Red Tide di Teluk Jakarta. Inovasi Online. http://io.ppi-jepang.org. Tanggal Akses 22 Juni 2010

Jumat, 06 April 2012

Ikan sebagai bioindikator, dalam biomonitoring lingkungan

Ikan sebagai bioindikator bagi monitoring pencemaran
Untuk menaksir efek toksiologis dari beberapa polutan kimia dalam lingkungan dapat diuji dengan menggunakan species ysng mewakili lingkungan yang ada di perairan tersebut. Specis yang diuji harus dipilih atas dasar kesamaan biokemis dan fisiologis dari specis dimana hasil percobaan digunakan (Price, 1979). Kriteria organisme yang cocok unutk digunakan sebagai uji hayati tergantung dari beberapa faktor :
1. Organisme harus sensitif terhadap material beracun dan perubahan linkungan
2. Penyebanya luas dan mudah didapat dalam jumlah yang banyak
3. Mempunyai arti ekonomi, rekreasi dan kepentingan ekologi baik secara daerah maupun  nasional
4. Mudah dipelihara dalam laboratorium
5. Mempunyai kondisi yang baik, bebas dari penyakit dan parasit
6. Sesuai untuk kepentingan uji hayati (American Public Health Associaton, 1976 cit. Mason, 1980).

Ikan dapat menunjukkan reaksi terhadap perubahan fisik air maupun terhadap adanya senyawa pencemar yang terlarut dalam batas konsentrasi tertentu. Reaksi ini dapat ditunjukkan dalam percobaan di laboratorim, di mana terjadi perubahan aktivitas pernafasan yang besarnya perobahan diukur atas dsar irama membuka dan menutupnya rongga “Buccal” dan ofer kulum (Mark, 1981). Pengukuran aktivitas pernafasan merupakan cara yang amat peka untuk menguikur reaksi ikan terhadap kehadiran senyawa pencemar. Hasil penelitian yang pernah dilakukan memperlihatkan adanya peningkatan jumlah gerakan ofer kulum “Fingerlink” (Cirrhina Mrigala) yang terkena deterjen (Lal, Misra, Viswanathan dan Krisna Murty, 1984). Sebagai indikator dari toxicant sub lethal juga dapat dilihat dari frekwensi bentuk ikan. Yang mana digunakan untuk membersihkan pembalikan aliran air pada insang, yang merupakan monitoring pergerakan respiratory (Anderson dan Apolonia, 1978). Selain gerakan ofer kulum dan frekwensi batuk parameter darah merupakan indikator yang sensitif pada kehidupan sebagai peringatan awal dari kwalitas air. Perubahan faal drah ikan yang diakibatkan senyawa pencemar, akan timbul sebelum terjadinya kematian (Larsson et al, 1976). Pemeriksaan darah mempunyai kegunaan dalam menentukan adanya gangguan fisiologis tertentu dari ikan. Parameter faal darah dapat diukur dengan mengamati kadar hemoglobin, nilai hematokrit dan jumlah sel darah merah (Goenarsoh, 1988). Ikan mas (Cyprinus Carpio L.) dapat digunakan sebagai hewan uji hayati karena sangat peka terhadap perubahan lingkungan (Brinley cit. Sudarmadi, 1993). Di Indonesia ikan yang termasuk famili Cyprinidae ini termasuk ikan yang popular dan paling banyak dipelihara rakyat, serta mempunyai nilai ekonomis. Ikan mas sangat peka terhadap faktor lingkungan pada umur lebih kurang tiga bulan dengan ukuran 8-12 cm. Disamping itu ikan mas di kolam biasa (Stagnant water) kecepatan tumbuh 3 cm setiap bulanya (Arsyad dan Hadirini cit. Sudarmadi, 1993). Berdasrkan hasil penelitian bahea konsentrasi limbah, suhu, DO, pH, salinitas dan alkalinitas berpengaruh nyata terhadap mortalitas ikan mas (Cyprinus carpio L.) (Suwindere, 1983). Hal ini disebabkan jika ditinjau secara kimia bahwa kehidupan dan pertumbuhan organisme perairan dipengaruhi oleh pH, DO, BOD, suhu, salinitas dan alkalinitas (Rasyad, 1990). Penelitian tentang kesanggupan ikan mas untuk mendeteksi insektisida memperlihatkan bahwa ikan mas (Cyprinus carpui L.) dapat mendeteksi adanya insektisida bayrusil dalam air pada konsentrasi 55 ppm. Dimana pada konsentrasi tersebut setelah 10 menit ikan mas telah menghidari akan trjadi perubahan frekwensi gerakan ofer kulum yang mula- mula cepat kemudian melambat dan ahirnya lemas (Suin, 1994).

Tips Dasar Pengenalan Selam (5)



Olahraga selam di Indonesia berwadah dalam organisasi POSSI atau ISSA (Indonesian Sub-aquatic Sport Association) yang berdiri pada Agustus 1977 di bawah KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) dan FOPINDO (Federasi Olahraga Perairan Indonesia) di tingkat Nasional serta berafiliasi dengan CMAS (Confederation Mondiale des Activites Subaquatiques) atau dikenal dengan World Underwater Federation.

Suatu pengalaman baru telah terjadi sebagai penyelam pemula di kedalaman laut 12-24 meter dimana tekanan bawah air sangat kuat dan menyakitkan telinga hingga pendaraahan karena kegagalan squeeze sinus saat descent (turun ke dasar air) dan barotrauma sinus saat ascent (naik ke permukaan air).

Snorkeling di Laut

Ini adalah pengalaman yang menyenangkan sekaligus menjadi pengetahuan bahwa olah raga ini termasuk olahraga dengan resiko kecelakaan yang tinggi.

Scuba Diving di Laut

Untuk menjadi penyelam, fisik harus sehat dan kuat untuk mendukung kemampuan renang yang telah dimiliki. Penyelam akan diuji bertahan di dalam air tanpa alat.

Latihan-latihan yang dilaksanakan yaitu:

    berenang tanpa alat bantu
    menyelam tanpa alat
    berenang dengan alat bantu google, maskr, dan selang snorkle, fin
    maskr clearing
    snorkle masuk air
    memasang alat selam
    equalizing tekanan bawah air
    naik darurat ke permukaan
    melepas scuba di dasar air
    memasang scuba di dasar air
    berbagi udara dengan buddy di dasar air
    hand signal atau isyarat tangan
    membuat register selam di Diver Log Book


Peralatan selam yang digunakan yaitu:

    Snorkel
    Mask
    Primary Regulator – Second Stage
    Buoyancy Control Device with Low-pressure Inflator (BCD)
    Alternate Air Source – Second Stage
    Cylinder
    Weight Belt with Weight Retainers and Quick-release Buckle
    Submarsible Pressure Gauge (SPG)
    Full-lenght Wet Suit
    Scuba Fins

Setelah menyelam resiko yang mungkin terjadi adalah tenggelam, pecah gendang telinga karena tekanan bawah air, pecah sinus hidung sehingga pendarahan, kejang otot, kedinginan, emboli udara, gagal jantung, keracunan udara dalam tabung yang tercemar CO, kehabisan udara, dsb. Yang sangat penting untuk mengatasi segala kemungkinan itu adalah dengan tetap tenang atau tidak panik.

Olahraga ini cukup menarik dan menyenangkan yang tidak jarang membuat ketagihan. Setelah selesai latihan tersebut, para peserta berhak mendapat sertifikat dan brivet (tanda kemampuan) selam dasar SCUBA DIVER-A1 (One Star) dan seterusnya secara berjenjang dan kedepan akan menjadi kader penerus hingga tingkat lanjutan serta dapat mengaplikasikan kemampuan tersebut baik dalam tindakan keseharian maupun layanan kemanusiaan khususnya SAR ((Search and Rescue).