MSP Online Kuliah ONline

Ruang Sederhana bagi Gathering & Sharing Informasi dan Materi Referensi Ilmiah Populer

Rabu, 22 Mei 2019

MSPGNP1819 Skala Kualitas Lingkungan Perairan, Perhitungan Indeks Kualitas Air

Pendekatan tradisional : membandingkan data setiap parameter kualitas air konvensional (fisik, kimia, bakteriologi) dengan kondisi normatif kelas air setempat (baku mutu peruntukan air).
• Status mutu air harus bisa dikuantifikasikan dan diekspresikan dengan suatu indeks tunggal (single index) kualitas air (IKA) yang dapat dihubungkan dengan strategi operasional manajemen sungai
yang ekologis dan berkelanjutan.

Unduh materi perhitungan IKA

MSPGNP1819 Wadah Pengumpul Air Hujan

Wadah pengumpul air hujan merupakan kolam atau wadah yang dipergunakan untuk menampung air
hujan yang jatuh di atas bangunan (rumah, degung perkantoran,atau industri) yang disalurkan melalui
talang. Kolam pengumpul air hujan ini sudah banyak dipakai masyarakat secara tradisional sebagai
cadangan air bersih.

Unduh materi wadah pengumpul hujan

UAS Take home test MVLP GENAP 2018/2019

UAS Manajemen Valuasi Lingkungan Perairan (MVLP) bagian EI

Waktu 1 x 36 jam (sejak waktu sesuai jadwal ujian)

Jawaban dikirim ke: gibranisme@gmail.com

Ukuran A4
Jumlah halaman bebas
Margin bebas
Nama file:   Nama matakuliah_Nama mhsw_NIM_UASGNP1819
contoh:  MVLP_Jusuf Kalla_G1D901010_UASGNP1819

Unduh SOAL

MSPGNP1819 Pengelolaan Sumberdaya Air Berkelanjutan

1. PENDAHULUAN
Kepulauan Indonesia terdiri dari sekitar 17.508 pulau dan sekitar 6.000 merupakan pulau yang berpenghuni. Kepulauan tropis menyebar di sepanjang seperdelapan dari ekuator sekitar 8 juta km2, dengan total luas lahan 1,92 juta km2), dan wilayah laut seluas 3 juta km2 dengan total panjang garis pantai sekitar 84.000 km.
Penduduk Indonesia sebanyak 226 juta (data 2008) tersebar di beberapa pulau. Dengan tingkat pertumbuhan 1,66% dari penduduk diperkirakan tumbuh menjadi 280 juta pada tahun 2020. Jawa, sebagai pulau yang paling padat penduduknya hanya seluas 6,58% dari total wilayah Indonesia, berpenduduk 58% (120,4 juta) dari total penduduk di Indonesia. Dalam dasawarsa yang lalu, imigran perkotaan mengakibatkan pertumbuhan perkotaan sekitar 5% per tahun. Diperkirakan bahwa pada tahun 2020 sekitar 52% penduduk akan tinggal di lingkungan perkotaan, meningkat 38% dibandingkan tahun 1995.
Terlepas dari tingginya potensi sumber daya air, sumber daya air permukaan di Indonesia mengalami kekurangan selama musim kemarau, namun terjadi banjir selama musim hujan terutama di beberapa daerah. Meskipun Indonesia memiliki curah hujan yang berlimpah, dengan rata-rata nasional lebih dari 2.500 mm/tahun, namun terjadi perbedaan yang sangat besar di daerah tertentu di Indonesia. Hal ini terjadi berkisar dari daerah-daerah yang sangat kering di Nusa Tenggara, Maluku dan Sulawesi bagian dari Kepulauan (kurang dari 1.000 mm) dan yang sangat basah di beberapa bagian daerah Papua, Jawa, dan Sumatra (lebih dari 5.000 mm).
Seperti di banyak negara lain, kondisi sumber daya air di Indonesia telah sampai pada tahap di mana tindakan terpadu diperlukan untuk membalikkan tren yang terjadi saat ini yatiu penggunaan air yang berlebihan, polusi, dan meningkatnya ancaman kekeringan dan banjir.
Mengingat tantangan yang dihadapi oleh sektor sumber daya air dan sektor irigasi di abad ke-21 dan reformasi sektor publik yang lebih memperhatikan aspirasi rakyat, Pemerintah Indonesia telah memulai program reformasi bidang sumber daya air yang meliputi aspek kebijakan, aspek kelembagaan, aspek legislatif dan peraturan, dan kebijakan konservasi sumber daya air telah mendapat bagian yang substansial dalam agenda reformasi.

2. STATUS PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA
2.1    Sejarah Pembangunan Infrastruktur Sumber Daya Air di Indonesia
Kebijakan pembangunan infrastruktur di Indonesia telah dimulai sejak masa Hindia-Belanda, terutama untuk sektor sumber daya air dengan dikeluarkannya Peraturan Umum tentang Air (Algemeene Water Reglement (AWR) pada tahun 1936 dan Algemeene Waterbeheersverordening pada tahun 1937) dan diikuti dengan Peraturan Air tingkat Propinsi Provinciale Water Reglement (Jawa Timur dan Jawa Barat) pada tahun 1940. Pada masa setelah kemerdekaan, peraturan yang ditetapkan sejalan dengan UUD 1945.
Pembangunan infrastruktur secara menyeluruh selanjutnya dimulai dengan disusunnya Rencana Pembangunan Lima Tahun – I (REPELITA I)  periode 1968/1969 – 1973/1974 termasuk sektor sumber daya air, transportasi, dan listrik. Pembangunan infrastruktur dilaksanakan secara cepat selama pelaksanaan REPELITA I hingga VI. Pembangunan infrastruktur di sektor sumber daya air telah berhasil meningkatkan produksi pangan hingga mencapai swasembada pangan pada tahun 1980. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, telah dikembangkan juga infrastruktur pengairan dan sanitasi terutama sejak pelaksanaan REPELITA III. Namun demikian, pembangunan tidak dapat mengimbangi pertumbuhan penduduk dimana cakupan pelayanan hanya dapat mencapai sekitar 55% dari jumlah penduduk di Indonesia.
Mengingat pengembangan sumber daya air di Indonesia selalu mengalami peningkatan dan perubahan dari waktu ke waktu, maka dari itu sangat diperlukan untuk melakukan pengembangan dan peningkatan sektor sumber daya air baik dari segi kebijakan, peraturan dan perundang-undangan, aspek kelembagaan, maupun pelaksanaan di lapangan. Hal tersebut perlu diintegrasikan dengan paradigm pembangunan nasional dan pembangunan sumber daya air secara keseluruhan.
Dengan meningkatnya permintaan masyarakat untuk sumber daya air baik secara kuantitas maupun kualitas, maka dapat mendorurng untuk penguatan nilai ekonomi sumber daya air dibandingkan dengan nilai sosial dan berpotensi untuk terjadi konflik kepentingan antar sector, antar wilayah dan antar berbagai pihak yang terkait sumber daya air. Pengelolaan sumber daya air yang lebih mempertimbangkan nilai ekonomi akan cenderung untuk memberikan manfaat yang lebih banyak kepada kepentingan penguatan ekonomi dan akan mengesampingkan kepentingan sosial dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat terhadap air. Hal ini akan menjadi kerugian bagi kelompok masyarakan yang tidak mampu bersaing karena rendahnya kemampuan ekonomi, bahkan akan menyebabkan hak dasar setiap orang untuk mendapatkan air tidak dapat dipenuhi. Mengingat sumber daya air merupakan sumber kehidupan, pemerintah wajib melindungi kepentingan kelompok masyarakat berkemampuan ekonomi rendah untuk mendapatkan sumber daya air secara adil dengan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya air yang mampu menyeimbangkan antara nilai sosial dan nilai ekonomi sumber daya air.
2.2    Status dan Karakteristik Sumber Daya Air di Indonesia
Secara umum, sektor sumber daya air di Indonesia menghadapi permasalahan jangka panjang terkait dengan pengelolaan dan tantangan investasi , yang akan mempengaruhi pembangunan ekonomi negara dan menyebabkan berkurangnya keamanan pangan, kesehatan masyarakat dan kerusakan lingkungan. Pada tingkat kebijakan dan pelaksanaan, Indonesia menghadapi beberapa permasalahan spesifik seperti sebagai berikut:
a.       Ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan dalam perspektif ruang dan waktu. Indonesia yang terletak di daerah tropis merupakan negara kelima terbesar di dunia dalam hal ketersediaan air. Namun, secara alamiah Indonesia menghadapi kendala dalam memenuhi kebutuhan air karena distribusi yang tidak merata baik secara spasial maupun waktu, sehingga air yang dapat disediakan tidak selalu sesuai dengan kebutuhan, baik dalam perspektif jumlah maupun mutu.
b.      Meningkatnya ancaman terhadap keberlanjutan daya dukung sumber daya air, baik air permukaan maupun air tanah. Kerusakan lingkungan yang semakin luas akibat kerusakan hutan secara signifikan telah menyebabkan penurunan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam menahan dan menyimpan air. Hal yang memprihatinkan adalah indikasi terjadinya proses percepatan laju kerusakan daerah tangkapan air. Kelangkaan air yang terjadi cenderung mendorong pola penggunaan sumber air yang tidak bijaksana, antara lain pola eksploitasi air tanah secara berlebihan sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan permukaan dan kualitas air tanah, intrusi air laut, dan penurunan permukaan tanah
c.       Menurunnya kemampuan penyediaan air. Berkembangnya daerah permukiman dan industri telah menurunkan area resapan air dan mengancam kapasitas lingkungan dalam menyediakan air. Pada sisi lain, kapasitas infrastruktur penampung air seperti waduk dan bendungan makin menurun sebagai akibat meningkatnya sedimentasi, sehingga menurunkan keandalan penyediaan air untuk irigasi maupun air baku. Kondisi ini diperparah dengan kualitas operasi dan pemeliharaan yang rendah sehingga tingkat layanan prasarana sumber daya air menurun semakin tajam.
d.      Meningkatnya potensi konflik air. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kualitas kehidupan masyarakat, jumlah kebutuhan air baku bagi rumah tangga, permukiman, pertanian maupun industri juga semakin meningkat. Pada tahun 2003, secara nasional kebutuhan air mencapai 112,3 miliar meter-kubik dan diperkirakan pada tahun 2009 kebutuhan air akan mencapai 117,7 miliar meter-kubik. Kebutuhan air yang semakin meningkat pada satu sisi dan ketersediaan yang semakin terbatas pada sisi yang lain, secara pasti akan memperparah tingkat kelangkaan air.
e.       Kurang optimalnya tingkat layanan jaringan irigasi. Jaringan irigasi terbangun di Indonesia berpotensi melayani 6,77 juta hektar sawah. Dari jaringan irigasi yang telah dibangun tersebut diperkirakan sekitar 1,67 juta hektar, atau hampir 25 persen, masih belum atau tidak berfungsi. Untuk jaringan irigasi rawa, hanya sekitar 0,8 juta hektar (44 persen) yang berfungsi dari 1,80 juta hektar yang telah dibangun. Selain penurunan keandalan layanan jaringan irigasi, luas sawah produktif beririgasi juga makin menurun karena alih fungsi lahan menjadi non-pertanian terutama untuk perumahan
f.       Makin meluasnya abrasi pantai. Perubahan lingkungan dan abrasi pantai mengancam keberadaan lahan produktif dan wilayah pariwisata. Selain itu, abrasi pantai pada beberapa daerah perbatasan dapat menyebabkan bergesernya garis perbatasan dengan negara lain. Dengan demikian di wilayah-wilayah tersebut, pengamanan garis pantai mempunyai peran strategis dalam menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia
g.      Lemahnya koordinasi, kelembagaan, dan ketatalaksanaan. Perubahan paradigma pembangunan sejalan dengan semangat reformasi memerlukan beberapa langkah penyesuaian tata kepemerintahan, peran masyarakat, peran BUMN/BUMD, dan peran swasta dalam pengelolaan infrastruktur sumber daya air. Penguatan peran masyarakat, pemerintah daerah, BUMN/BUMD, dan swasta diperlukan dalam rangka memperluas dan memperkokoh basis sumber daya. Meskipun prinsip-prinsip dasar mengenai hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, namun masih diperlukan upaya tindak lanjut untuk menerbitkan beberapa produk peraturan perundangan turunan dari undang-undang tersebut sebagai acuan operasional. Pada aspek institusi, lemahnya koordinasi antarinstansi dan antardaerah otonom telah menimbulkan pola pengelolaan sumber daya air yang tidak efisien, bahkan tidak jarang saling berbenturan. Pada sisi lain, kesadaran dan partisipasi masyarakat, sebagai salah satu prasyarat terjaminnya keberlanjutan pola pengelolaan sumber daya air, masih belum mencapai tingkat yang diharapkan karena masih terbatasnya kesempatan dan kemampuan.
h.      Rendahnya kualitas pengelolaan data dan sistem informasi. Pengelolaan sumber daya air belum didukung oleh basis data dan sistem informasi yang memadai. Kualitas data dan informasi yang dimliki belum memenuhi standar yang ditetapkan dan tersedia pada saat diperlukan. Berbagai instansi mengumpulkan serta mengelola data dan informasi tentang sumber daya air, namun pertukaran data dan informasi antar instansi masih banyak mengalami hambatan. Masalah lain yang dihadapi adalah sikap kurang perhatian dan penghargaan akan pentingnya data dan informasi

3. PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONEISA
3.1 Pengembangan Infrastruktur Sumber Daya Air
Untuk peningkatan sumber daya air di Indonesia, masih banyak diperlukan pembangunan bendungan, waduk, dan sistim jaringan irigasi yang handal untuk menunjang kebijakan ketahanan pangan pemerintah. Di samping itu untuk menjamin ketersediaan air baku, tetap perlu dilakukan normalisasi sungai dan pemeliharaan daerah aliran sungai yang ada di beberapa daerah. Pemeliharaan dan pengembangan Sistem Wilayah Sungai tersebut didekati dengan suatu rencana terpadu dari hulu sampai hilir yang dikelola secara profesional. Untuk itu perlu dikembangkan teknologi rancang bangun Bendungan Besar, Bendung Karet, termasuk terowongan, teknologi Sabo, sistem irigasi maupun rancang bangun pengendali banjir.
Saat ini terdapat beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) yang memiliki peran penting dalam penyediaan sumber air sebagian telah mengalami kerusakan yaitu 62 DAS rusak dari total 470 DAS, sehingga mengakibatkan menurunnya nilai kemanfaatan air sehubungan penurunan fungsi daerah tangkapan dan resapan air. Saat ini jaringan irigasi terbangun mencapai 6,77 juta ha (1,67 juta ha belum berfungsi), dan jaringan irigasi rawa 1,8 juta ha yang berfungsi untuk mendukung Program Ketahanan Pangan Nasional.
Namun di sisi lain perkembangan fisik wilayah telah memberikan dampak pada terjadinya alih fungsi lahan pertanian sekitar 35 ribu ha per tahun.

1.1 Pelaksanaan Pengelolaan Sumber Daya Air
Indonesia telah melakukan langkah maju dalam pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air secara terpadu (Integrated Water Resources Management – IWRM) yang menjadi perhatian dunai internasional untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air dalam mencapai kesejahteraan umum dan pelestarian lingkungan. Sejalan dengan konsep IWRM yang berkembang di forum internasional, beberapa tindakan telah diambil di tingkat nasional dan daerah dalam rangka reformasi kebijakan sumber daya air.
Reformasi dalam pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu tindakan penting untuk mengatasi pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, dan konservasi sumber daya alam. Dalam pelaksanaannya, telah diterbitkan beberapa kebijakan antara lain diberlakukannya Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA) yang sejalan dengan prinsip-prinsip IWRM. Undang-undang ini bertujuan untuk pelaksanaan pengelolaan sumber daya air secara menyeluruh, berkelanjutan, dan melalui pendekatan terbuka sehingga memberikan pilihan bagi masyarakat bisnis dan organisasi non-pemerintah untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumber daya air terpadu.
Undang-Undang Sumber Daya Air menyatakan visi, misi, dan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya air di Indonesia, sebagai dasar untuk pelaksanaan IWRM. Visi untuk pengelolaan sumber daya air berdasarkan UU SDA adalah “Sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 3 UU SDA). Untuk menjalankan visi tersebut, telah diidentifikasi lima misi pengelolaan sumber daya air, yaitu: 1) konservasi sumber daya air, 2) pendayagunaan sumber daya air; 3) pengendalian daya rusak air; 4) pemberdayaan dan peningkatan peran masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah; dan 5) perbaikan data dan informasi yang ketersediaan dan transparansi. Selanjutnya, dalam rangka untuk mencapai misi tersebut, pengelolaan sumber daya air dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip harmoni, kesetaraan, kesejahteraan umum, integritas, keadilan, otonomi, transparansi dan akuntabilitas

1.2 Pelaksanaan Pengelolaan Irigasi
Indonesia telah memulai untuk melaksanakan reformasi terhadap kebijakan pengelolaan irigasi sejak diterapkannya Kebijakan Operasi dan Pemeliharaan Irigasi (Irrigation Operation and Maintenance Policy – IOMP) pada tahun 1987. Upaya reformasi tersebut merupakan respon terhadap kurangnya pembiayaan, kapasitas kelembagaan dan institusi, permasalahan kinerja yang dihadapi Pemerintah dalam rangka menjaga irigasi yang keberlanjutan.
Pada tahun 1999, pemerintah menerapkan kebijakan baru yang disebut Reformasi Kebijakan Pengelolaan Irigasi karena pelaksanaan IOMP tahun 1987 tidak sesuai dengan yang diharapkan dan krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 telah mendorong pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan pelayanan publik termasuk untuk pengelolaan irigasi. Kedua kebijakan tersebut telah membuka ruangan yang lebih besar dan menuntut peran utama petani untuk pengelolaan irigasi melalui Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Penerapan kedua kebijakan tersebut memberlakukan kembali komitmen pemerintah untuk perubahan pengelolaan irigasi dari dominasi institusi pemerintah menjadi bentuk baru dalam pengaturan kelembagaan yang mengedepankan kerjasama antara pemerintah dengan petani. Sebagai bentuk baru pengaturan kelembagaan, diperlukan penguatan P3A dan kerjasama yang berkesinambungan menjadi agenda penting dalam perubahan pengelolaan irigasi.
Pada tahun 2006, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. PP tentang irigasi tersebut mendorong Pembangunan dan Pengelolaan Sistem Irigasi parisipatif (PPSIP) sebagai pelaksanaan irigasi berbasis partisipasi petani mulai, perencanaan, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan kegiatan pada tahap pembangunan, peningkatan, operasi dan pemeliharaan, serta rehabilitasi untuk menjaga pemanfaatan air dalam bidang pertanian berdasarkan prinsip partisipatif, kesetaraan, kesejahteraan umum,  keadilan, otonomi, transparansi dan akuntabilitas, serta berwawasan lingkungan.
Pengelolaan sistem irigasi partisipatif melibatkan semua pihak yang berkepintingan dengan mengedepankan kepentigan dan peran serta petani. Pelaksaannnya difasilitasi oleh Pemerintah tingkat Pusat, Provinsi, maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya dan memberikan bantuan sesuasi dengan yang dibutuhkan oleh P3A dengan tetap memperhatikan prinsip kemandirian.
Pemberdayaan dan pendayagunaan kelembagaan pengelolaan irigasi perlu dilakukan untuk menjamin pengelolaan irigasi. Kelembagaan pengelolaan irigasi tersebut meliputi instansi pemerintah, perkumpulan petani pemakai air (P3A), dan komisi irigasi. Perkumpulan petani pemakai air dibentuk secara demokratis pada setiap daerah layanan/petak tersier atau desa dan dapat membentuk gabungan perkumpulan petani pemakai air (GP3A) pada daerah layanan/blok sekunder, gabungan beberapa blok sekunder, atau satu daerah irigasi. Selain itu perlu dibentuk juga induk perkumpulan petani pemakai air (IP3A) pada daerah layanan/blok primer, gabungan beberapa blok primer, atau satu daerah irigasi. Sementara itu, Komisi Irigasi dibentuk untuk mewujudkan keterpaduan pengelolaan sistem irigasi pada setiap provinsi dan kabupaten/kota.
2. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR
2.1 Arah Kebijakan
Berdasarkan peraturan terkait dan dokumen-dokumen perencanaan pembangunan nasional, arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya air sebagai berikut:
1.            Mewujudkan sinergi dan mencegah konflik antar wilayah, antar sektor, dan antar generasi dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional, persatuan, dan kesatuan bangsa.
2.            Mendorong proses pengelolaan sumberdaya air yang terpadu antar sektor dan antar wilayah yang terkait di pusat, propinsi, kabupaten/kota dan wilayah sungai.
3.            Menyeimbangkan upaya konservasi dan pendayagunaan sumberdaya air agar terwujud kemanfaatan air yang berkelanjutan bagi kesejahteraan seluruh rakyat baik pada generasi sekarang maupun akan datang.
4.            Menyeimbangkan fungsi sosial dan nilai ekonomi air untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu akan air dan pendayagunaan air sebagai sumberdaya ekonomi yang memberikan nilai tambah optimal dengan memperhatikan biaya pelestarian dan pemeliharaannya.
5.            Melaksanakan pengaturan sumber daya air secara bijaksana agar pengelolaan sumber daya dapat diselenggarakan seimbang dan terpadu.
6.            Mengembangkan sistem pembiayaan pengelolaan sumberdaya air yang mempertimbangkan prinsip cost recovery dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
7.            Mengembangkan sistem kelembagaan pengelolaan sumberdaya air yangmembuka akses partisipasi masyarakat serta mewujudkan pemisahan fungsi pengatur (regulator) dan fungsi pengelola (operator).
2.2 Pembiayaan Pembangunan Sumber Daya Air
Dana infrastruktur sumber daya air dianggarkan di tingkat pemerintah pusat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara  (APBN) dan di tingkat daerah  melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penganggaran di tingkat pusat dilakukan melalui koordinasi antara lembaga-lembaga yang melibatkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dalam mengembangkan Rencana Kerja Pemerintah  tahunan. APBN dapat bersumber dari mata uang lokal, pinjaman, dan hibah dari Negara/lembaga donor.
Penganggaran di tingkat daerah prosesnya sama dengan proses penganggaran di tingkat pusat. Sumber untuk Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pinjaman atau hibah yang dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, anggaran untuk Pemerintah Daerah dapat berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) yang dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang berlaku.
3. PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SUMBER DAYA AIR YANG BERKELANJUTAN
Pembangunan berkelanjutan sangat memperhatikan optimalisasi manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan cara menyelaraskan aktivitas manusia dengan kemampuan sumber daya alam untuk menopangnya. Komisi dunia untuk lingkungan dan pembangunan mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi mendatang.
Tujuan pembangunan berkelanjutan yang bermutu adalah tercapainya standar kesejahteraan hidup manusia yang layak, sehngga tercapai taraf kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Taraf kesejahteraan ini diusahakan dicapai dengan menjaga kelestarian lingkungan alam serta tetap tersediannya sumber daya yang diperlukan. Salah satu konsep terkait dengan pembangunan yang memperhatikan dampak terkecil dari kerusakan lingkungan tetapi menghasilkan manfaat yang optimal adalah kosep Eco-Efficiency.
3.1 Konsep Eco- Efficiency
Eco-efficiency untuk pertama kalinya dipromosikan dalam The World Business Council on Sustainable Development (WBCSD) sebagai konsep bisnis untuk memperbaiki kinerja ekonomi dan kondisi lingkungan pada setiap perusahaan. Eco-efficiency telah dipertimbangkan dengan memperhitungkan penghematan sumber daya dan pencegahan polusi dari industri manufaktur sebagai pemicu untuk inovasi dan daya saing di semua jenis perusahaan. Pasar uang juga mulai mengenali nilai eco-efficiency karena banyak perusahaan yang menerapkan eco-efficiency dapat menghasilkan performa yang lebih baik secara finansial.
Menurut Tamlyn, pengertian eco-efficiency perlu memperhatikan dampak lingkungan meliputi pertimbangan ekologi dan ekonomi yang merupakan strategi untuk mengurangi dampak lingkungan dan meningkatkan nilai produksi. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut maka akan terdapat upaya untuk mengurangi dampak lingkungan namun dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun hal yang penting untuk dicatat adalah terjadinya hubungan yang memberikan peluang untuk saling berubah secara posistif antara satu dengan yang lainnya.
WBCSD telah mengidentifikasi 7 (tujuh) elemen yang dapat digunakan dalam menjalankan bisnis perusahaan untuk meningkatkan eko-efisiensi proses bisnisnya yaitu: 1) mengurangi penggunaan bahan baku; 2) mengurangi penggunaan energi; 3) mengurangi limbah beracun dari hasil produksi; 4) meningkatkan kemampuan daur ulang; 5) memaksimalkan penggunaan energi terbarukan; 6) memperpanjang daya tahan produk; dan 7) meningkatkan intensitas layanan.
Indikator eco-efficiency pada tingkat penrusahaan dapat diterapkan untuk mengukur seberapa besar tingkat efisiensi sumberdaya yang digunakan dalam suatu usaha. Misalnya seberapa besar sumber daya energi, air dan bahan baku utama yang digunakan untuk mentransformasikan menjadi produk yang layak jual. WBCSD menyarankan agar menggunakan ratio antara nilai produk atau jasa per pengaruh lingkungan. Dari pernyataan WBCSD tersebut selanjutanya oleh Fuse, Horikoshi, Y.Kumai dan Taniguchi, dalam penerapannya disebut sebagai faktor eco-efficiency yang dapat diformulasikan dalam bentuk persamaan sebagai berikut:

1.1 Keterkaitan Eco-Efficiency dengan Infrastruktur Sumber Daya Air
Eco-efficient dalam pembangunan infrastruktur sumber daya air merupakan upaya untuk mengurangi dampak negative terhadap lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan konstruksi, dalam hal ini adalah konstruksi infrastruktur sumber daya air yang memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan sekitarnya. Dalam penerapan eco-efficiency, bahan baku yang digunakan perlu mempertimbangkan berasal dari dalam negeri. Hal ini akan mengurangi biaya pengiriman bahan baku sehingga akan lebih efisien dalam penggunaan bahan bakar, yang pada akhirnya dapat mengurangi emisi karbon. Pemanfaatan bahan bangunan dan teknologi ramah lingkungan perlu disosialisasikan dan dilaksanakan secara optimal untuk mengurangi dampak kerusakan ekologis dalam pembangunan infrastruktur sumber daya air, serta operasi dan pemeliharaannya.
1.2 Penerapan Eco-Efficiency dalam Pembangunan Infrastruktur Sumber Daya Air
Dalam rangka penerapan konsep eco-efficiency dalam pembangunan infrastruktur sumber daya air, Pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya yang dijelaskan di bawah ini:
1. Konservasi Sumber Daya Air
Konservasi sumber daya air dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia dilatarbelakangi pada beberapa hal sebagai berikut:
•         Perlunya keseimbangan kebutuhan air saat ini dan di masa mendatang
•         Penggunaan persediaan air yang ditampung pada saat musim hujan untuk digunakan pada musim kemarau
•         Meningkatkan ketersediaan air tanah
•         Perbandingan infrastruktur skala besar dengan infrastruktur skala kecil
•         Kebijakan Pemerintah Indonesia: peningkatan embung yang dikelola oleh petani di perdesaan dan daerah pertanian.
Berdasarkan pengalaman, Pemerintah Indonesia saat ini mencoba untuk meminimalkan dampak pembangunan infrastruktur sumber daya air melalui pembangunan skala mikro yang meningkatkan partisipasi masyarakat untuk mendukung konsep ramah lingkungan. Dengan partisipasi masyarakat, biaya operasi dan pemeliharaan dapat lebih efisien dan anggaran dapat dikurangi. Perbandingan dalam pembangunan infrastruktur sumber daya air ditampilkan dalam tabel berikut.
Tabel 1:  Perbandingan Bendungan dan Embung
Kriteria Bendungand Field Reservoir (Embung)
Fungsi Jangka Panjang Jangka Pendek
Investasi Tinggi Rendah/Moderat
Partisipasi Masyarakat Rendah Tinggi
Dampak Sosial Tinggi Rendah/Moderat
Kapasitas Besar Kecil/Medium
Dampak Lingkungan Resiko Tinggi Ramah Lingkungan
Sumber:
Sebagai tambahan pengembangan waduk dan embung, pemerintah juga mendorong konservasi sumber daya air lainnya yang memberikan lebih banyak pada peningkatan air tanah dan penguranan limpasan air permukaan. Konservasi sumber daya air yang diperkenalkan oleh Handojo (2008) dapat dibagi menjadi konservasi di hulu, tengah dan hilir sungai wilayah.
A.    Daerah Hulu (Parit resapan)
1.      Parit resapan merupakan penampungan air sementara untuk menampung limpasan air permukaan supaya terserap ke dalam tanah.
2.      Fungsi dari parit resapan tersebut adalah untuk mengurangi air limpasan, menyaring polutan, dan meningkatkan pengisian ulang air tanah.
3.      Parit resapan dibuat dengan kedalaman kurang dari 1 m dan lebar 80 cm. Parit dapat diisi dengan kerikil atau dikominasikan dengan pipa.
Gambar 1: Parit Resapan di Daerah Hulu
A.    Daerah Tengah (Embung resapan)
1.      Membuat embung resapan: efektif dengan pendekatan keteknikan yang ringan, berdasarkan pada prose salami untuk mengantisipasi banjir dan kekeringan.
2.      Menyediakan waktu untuk air dapat terserap
3.      Menampung air hujan yang dapat digunakan saat musim kemarau
4.      Meningkatkan kualitas air

Gambar 2: Embung Resapan di Daerah Tengah
A.    Daerah hilir (Sumur resapan)
1.      Membangun sumur resapan yang menjadi syarat dalam izim membangun bangunan khususnya di Provinsi DKI Jakarta.
2.      Meningkatkan pengisian kembali air tanah.
3.      Sebagai upaya untuk mengatasi ekstrasi air tanah yang akan mengakibatkan penurunan tanah.
4.      Berkontribusi dalam mengurangi limpasan air permukaan.

Gambar 3: Sumur Resapan di Daerah Hilir
Sumber:
1. Pengendalian Banjir melalui Biopori
Biopori merupakan metode penyerapan air yang berfungsi untuk mengurangi dampak banjir dengan meningkatkan infiltrasi air ke dalam tanah. Metode ini dikembangkan oleh Kamir R Brata, peneliti dari Institut Pertanian Bogor.
Konsep Biopori:
Biopori adalah lubang-lubang di dalam tanah yang terbentuk karena adanya berbagai akitivitas organisme di dalamnya, seperti cacing, perakaran tanaman, rayap dan organisme tanah lainnya. Dengan adanya aktivitas tersebut maka akan terbentuk lubang-lubang yang akan menjadi tempat berlalunya air di dalam tanah. Bila lubang-lubang seperti ini dapat dibuat dengan jumlah banyak, maka kemampuan dari sebidang tanah untuk meresapkan air akan diharapkan semakin meningkat. Meningkatnya kemampuan tanah dalam meresapkan air akan memperkecil peluang terjadinya aliran air di permukaan tanah.
Penambahan jumlah biopori tersebut dapat dilakukan dengan membuat lubang vertikal ke dalam tanah. Lubang-lubang tersebut selanjutnya diisi bahan organik, seperti sampah-sampah organik rumah tangga, potongan rumput, dan vegatasi sejenisnya. Bahan organik ini dapat meningkatkan aktivitas organiseme dalam tanah sehingga akan semakin banyak biopori yang terbentuk.
Dampak dari biopori terhadap lingkungan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Meningkatkan Daya Resapan Air.
Dengan menggungakan lubang resapan biopori diharapkan dapat menambah bidang resapan air sebesar luas dinding lubang. Sebagai contoh bila lubang dibuat dengan diameter 10 cm dan dalam 100 cm maka luas bidang resapan akan bertambah sebanyak 3.140 cm2 atau hampir 1/3 m2. Dengan adanya aktivitas organisme tanah seperti cacing tanah pada lubang resapan, maka rongga pada tanah akan terbentuk dan tetap terbuka sehingga dapat melewatkan air untuk terserap ke dalam tanah. Dengan demikian kombinasi antara luas bidang resapan dengan kehadiran biopori secara bersama-sama akan meningkatkan kemampuan dalam meresapkan air.
b.      Mengubah Sampah Organik Menjadi Kompos
Lubang resapan biopori diaktifkan dengan memberikan sampah organik kedalamnya. Sampah ini akan dijadikan sebagai sumber energi bagi organisme tanah untuk melakukan kegiatannya melalui proses dekomposisi. Sampah yang telah didekompoisi ini dikenal sebagai kompos.. Dengan melalui proses seperti itu maka lubang resapan biopori selain berfungsi sebagai bidang resapan air juga sekaligus berfungsi sebagai pembuat kompos.
c.       Memanfaatkan Organisme Tanah dan atau Akar Tanaman
Seperti disebutkan di atas, lubang resapan biopori diaktikan oleh organisme tanah. Aktivitas organisme tanah dan perakaran tanaman selanjutnya akan membuat rongga-rongga di dalam tanah yang akan dijadikan saluran air untuk meresap ke dalam tanah. Dampak positih yang dihasilkan terhadap lingkungan adalah mengurangi limpasan air permukaan dan dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia karena biopri dapat menghasilkan pupuk organic (kompos).
2. Pemanfaatan Teknologi Lokal Tepat Guna

a.       Infrastruktur Irigasi
Dalam pembangunan saluran irigasi, terdapat beberapa hal  yang menjadi pertimbangan Pemerintah Indonesia untuk membangung saluran irigasi baru. Pertimbangan yang biasa umum dilakukan dalam membangunan saluran dengan bahan beton dan batu adalah tingginya investasi untuk mengembangkan infrastruktur irigasi dan kurangnya ketersediaan batu. Untuk mendukung pendekatan eco-efficient, Pemerintah mempertimbangkan untuk mengembangkan teknologi yang dapat mengurangi penggunaan batu sebagai konstruksi saluran irigasi, penggunaan biaya yang rendah dan penguatan partisipasi masyarakat, serta pertimbangan penggunaan material yang dapat mengurangi penggunaan batu sehingga eksploitasi batu di sungai dapat dikurangi. Berdasarkan hasil yang pernah dilakukan, efisiensi biaya dalam pembangunan irigasi mencapai 62,6% untuk saluran sekunder dan 58,16% untuk saluran tersier.
Dalam mengurangi penggunaan kayu sebagai material pembangunan infrastruktur, maka didorong untuk dapat memanfaatkan bambu mengingat material tersebut mudah ditemui di sisi sungai. Selain itu biaya dari material tersebut relatif rendah, mudah untuk digunakan sehingga dapat mendorong partisipasti masyarakat, relatif rendah dalam penggunaan air, dan dapat mempertahankan infiltrasi air untuk penambahan persediaan air tanah.
b.      Pembangkit Listrik Mikrohidro
Saat ini isu kelangkaan energi listrik yang menjadi fokus utama pemerintah. Pasokan listrik di desa-desa juga merupakan perhatian utama. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah mendorong partisipasi masyarakat dalam penyediaan energi. Partisipasi diperlukan karena kurangnya persediaan energy listrik terutama di desa-desa terpencil, harga bahan bakar yang tinggi, dan terdapat potensi untuk mengembangkan pembangkit listrik mikrohidro. Pengembangan teknologi dengan mendukung penggunaan energi terbarukan adalah Kincir Air Kaki Angsa yang ditemukan oleh Djajusman Hadi dan Budiharto (Universitas Nasional Malang, Jawa Timur).

Gambar 4: Pembangkit Listri Mikro-Hidro pada Saluran Irigasi
Sumber: Kakiangsa (2008)
1. REKOMENDASI
Infrastruktur dan dampaknya terhadap lingkungan adalah konsumsi terhadap sumberdaya (energi, air,bahan dan lahan) selama konstruksi dan operasi. Pengurangan emisi sebagai limbah dari sampah, gas rumah kaca, dan sebagainya perlu dipertimbangkan untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan.
Dalam pembangunan infrastruktur sumber daya air, pemerintah sebagai regulator perlu mensosialisasikan pentingnya pelaksanaan pembangunan dengan mempertimbangkan faktor lingkungan sehingga dapat tercapai efisiensi baik dari sisi ekonomi maupun ekologi. Hal ini perlu dipertimbangkan mengingat eskalasi harga minyak dunia akan mempengaruhi harga bahan bangunan. Di sisi lain, kekhawatiran terhadap peningkatan limbah material bangunan sejalan dengan pemahaman masyarakat mengenai pembangunan berbasis lingkungan. Pada akhirnya, pelaksanaan konstruksi perlu menekan sebanyak mungkin efek terhadap polusi air, udara, dan suara.
Pemanfaatan bahan bangunan yang ramah terhada lingkungan perlu didukung semaksimal mungkin, dengan perhatian khusus dan insentif terhadap harga pasar. Penggunaan tidak hanya didasarkan pada material buatan manufaktur, tetapi perlu juga mempertimbangkan material alami.
Penguatan masyarakat perlu ditingkatkan untuk mendukung pembangunan infrastruktur berbasis eco-efficient. Indonesia telah menerapkan pembangunan partisipatif untuk meningkatkan partisipasi dan kesadaran masyarakat pada pembangunan, operasi dan pemeliharaan infrastruktur perdesaan.
–o0o–


Sumber: Nursyaf Rullihandia, Staf Perencana Direktorat Pengairan dan Irigasi, Bappenas.

DAFTAR PUSTAKA
  • Azdan, M. Donny, Ir, MA., MS., Ph.D. Perubahan Paradigma Pembangunan Sumber Daya Air dan Irigasi, 2008
  • Bappenas. (2004). Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004 – 2009. Diperoleh dari www.bappenas.go.id.
  • Bappenas. (2005). Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005 – 2025. Diperoleh dari www.bappenas.go.id.
  • BFF (2008). Ecological Footprint. Retrieved October 2008, Diperoleh dari http://www.bestfootforward.com/ecological_footprint
  • Biopori (2007). Desain dan Konsep Lubang Resapan Biopori. Diperoleh September 2008, dari www.biopori.com
  • Handojo, R. (2008). Konsep dan Pengembangan Eco Efficient dalam Pembangunan Infrastruktur. Catatan perkuliahan. Fakultas Teknis Sipil dan Lingkungan, Institup Teknologi Bandung.
  • Kakiangsa (2008). Development of Micro Hydro as an Alternative Energy in Remote Area. Diperoleh September 2008, dari www.kakiangsa.wordpress.com
  • Sragen (2008). Infrastruktur Irigasi di Jawa Tengah. Diperoleh September 2008, dari www.sragen.go.id.

MVLPGNP1819 Bahan Referensi Valuasi SDP

Sinopsis  ini  disusun  untuk  memberikan  pengenalan  kepada  publik khususnya  mahasiswa  pada  program  studi  yang  terkait  dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, baik pada level sarjana maupun pasca sarjana, tentang pentingnya konsep dan metodologi valuasi ekonomi
sumberdaya  wilayah  pesisir  dan  laut  sebagai  salah  satu  tool  bagi pengambilan keputusan dalam kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan laut.

Unduh materi
Pengantar Penilaian Ekonomi SD Pesisir dan Laut
Valuasi Ekonomi SDA Laut dan Pesisir (Studi Kasus) 
Environtmental Valuation (1)
Environtmental Valuation (2)

MVLPGNP1819 VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA AIR DALAM KONSEP PENGELOLAAN PESISIR TERPADU

Pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir
merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan (Kay dkk., 1999). Lebih jauh, wilayah
pesisir merupakan wilayah yang penting ditinjau dari berbagai sudut pandang perencanaan
dan pengelolaan. Transisi antara daratan dan lautan di wilayah pesisir telah membentuk
ekosistem yang beragam dan sangat produktif serta memberikan nilai ekonomi yang luar
biasa terhadap manusia. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan
pembangunan sosial-ekonomi, "nilai" wilayah pesisir terus bertambah. Konsekuensi dari
tekanan terhadap pesisir ini adalah masalah pengelolaan yang timbul karena konflik
pemanfaatan yang timbul akibat berbagai kepentingan yang ada di wilayah pesisir
(Nurmalasari, 2001).

UNDUH MATERI

MVLPGNP1819 ANALISIS WILLINGNESS TO PAY JASA LINGKUNGAN AIR (studi kasus)

Tulisan ini merupakan referensi hasil kasus penelitian valuasi sumberdaya air, untuk  menganalisa  pengelolaan  jasa lingkungan non-komersil di Dusun Kerandangan, mengestimasi dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai willingness to pay(WTP) pelanggan air di Dusun  Kerandangan,  dan  menganalisa  prioritas  pengelolaan  jasa  lingkungan.
Penelitian  dilakukan  di  Dusun  Kerandangan  Kabupaten  Lombok  Barat  dengan reponden  sebanyak  117  KK  dari  167  KK  pelanggan  air  Kerandangan.  Dengan Contingent  Valuation  Method  untuk  mengetahui  besaran expressed  WTP yang dikehendaki masing-masing individu. Rata-rata WTP pelanggan air Kerandangan sebesar Rp 8.100,- sehingga agregat WTP sebesar Rp 1.352.700,-/bulan dan Rp 16.232.400,-/tahun.  Faktor-faktor  yang  signifikan  mempengaruhi  WTP  secara parsial  adalah  pendapatan,  pemakaian  air,  persepsi  pentingnya  konservasi  air, jenis kelamin, dan pendidikan dengan nilai probability sig.<0,05. Secara simultan ada   tiga  variabel  yang  signifikan  mempengaruhi  yaitu  pendapatan,  persepsi pentingnya konservasi air dan gender responden. Nilai R² (R square) sebesar 0,47 menyatakan  bahwa 47 persen   variabel-variabel  secara  simultan  mempengaruhi WTP,  dan  sisanya  53  persen   dipengaruhi  variabel  lain  di luar  penelitian   ini.
Pengelolaan  jasa  lingkungan  termasuk  pengelolaan  kemitraan(ko-managemen) adanya  kerjasama  antara  pemerintah  dengan  masyarakat  dalam  kegiatan pengelolaan  sumber  daya  air  di  TWA  Kerandangan.  Prioritas  pengelolaan menurut  ahli  yang  kami  analisa  dengan Analytical  Hierarchy  Process adalah konservasi  sumber  daya  air,  pembentukan  kelembagaan,  konservasi  supply  air, menghargai  kearifan  lokal,  mensosialisasikan  perilaku  hemat  air,  memperbaiki kualitas  fisik  dan  mikrobiologi  air,  menyusun  awiq-awiq,  menyusun  AD/ART, dan pelibatan stakeholder dalam kegiatan pengelolaan jasa lingkungan.
Unduh materi referensi

MVLPGNP1819 VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA ALAM LAUT DAN PESISIR

Penilaian  ekonomi  sumber  daya  alam  yang  ada  di  Pulau  Kangean,  Kabupaten  Sumenep,
Propinsi  Jawa  Timur  meliputi  sumberdaya  mangrove,  terumbu  karang,  ikan  tangkap,  dan
lahan pesisir. Sumberdaya  alam itu semua dinilai atas dasar fungsinya yangbersifat ganda
(multifungsi)
Hutan  mangrove  memiliki multifungsi  yang  sangat  besar artinya  bagi  kehiduppan  manusia
dan hewan. Namun dalam penilaiaen ekonomi kali ini baru dilihat pada fungsinya sebagai
sumber  kayu  bangunan,  tempat  kehidupan  ikan  (nursery  ground),  serta  sebagai  pelindung
pantai. Penilaian ekonomi menggunakan unit rent sebagai dasar penentuan nilai kayu hutan
mangrove;  sedangkan  untuk  fungsinya  sebagai  nursery  ground  didekati  dengan
menggunakan biaya produk pengganti yaitu biaya membangun tambak. Demikian pula dario
fungsinya  sebagai  pelindung  pantai  digunakan  nilai  pengganti  yaitu  biaya  pembangunan
tembok atau pagar tembok.
Begitu  juga  terumbu  karang  juga  dinilai  berdasarkan  multifungsinya  baik  sebagai  tempat
habitat ikan  dan  juga  sebagai  pelindung  pantai  dari  gempuran  obak.  Sebagai habitat ikan
dinilai dengan  menggunakan nilai biaya pembangunan tembok; sedangkan untuk fungsinya
sebagai pelindung pantai juga didekati dengan biaya pembangunan tanggul pemecah ombak.
Untuk sumberdaya ikan nilai yang digunakan adalah unit rent ikan tangkap. Nilai ekonomi
total diperoleh dengan cara mengalikan unit rent dengan jumlah ikan yang ditangkap.

Unduh file

MSPPKGNP1819 Man SD Pulau2 Kecil; PERAN TOPONIMI DALAM PELESTARIAN BUDAYA BANGSA DAN PEMBANGUNAN NASIONAL

Toponim atau nama-nama geografis tidak hanya sekedar nama yang menunjukkan lokasi suatu objek di peta. Nama-nama geografis yang standar merupakan sarana yang efektif dan dibutuhkan dalam kegiatan sosial ekonomi masyarakat seperti transaksi penanggulangan bencana, perdagangan, jasa pengiriman barang, pendidikan, wisata, dan juga dalam upaya mempertahankan kedaulatan negara. Toponim juga dapat digunakan untuk mempelajari aspek budaya dan sejarah bangsa sehingga sangat diperlukan untuk melestarikan warisan budaya yang tak ternilai (intangible cultural heritage). Nama rupabumi harus dibakukan karena merupakan suatu titik akses langsung dan intuitif terhadap sumber informasi lain, yang dapat membantu untuk pengambilan keputusan bagi para pembuat kebijakan serta membantu kerjasama di antara organisasi lokal, nasional dan internasional.
UNDUH

UAS Take home test MSPPK/MPPK

UAS Manajemen Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil/Manajemen Pulau-Pulau Kecil (MSPPK/MPPK) bagian EI

1. Mengapa pulau-pulau kecil memiliki nilai strategis bagi kemakmuran perekonomian sekaligus pertahanan dan keamanan nasional?
2. Bagaimana implementasi pengelolaan terpadu pulau-pulau kecil?
3. Bagaimana kasus pengelolaan pulau-pulau kecil yang memberikan kerugian besar bagi Indonesia? dan bagaimana seharusnya dikelola?

Waktu 1 x 24 jam (sejak waktu sesuai jadwal ujian)

Jawaban dikirim ke: adenth@gmail.com

Ukuran A4
Jumlah halaman bebas
Margin bebas
Nama file:   Nama matakuliah_Nama mhsw_NIM_UAS
contoh:  MSPPK_Jusuf Kalla_G1D901010_UAS

MSPPKGNP1819 Man SD Pulau2 Kecil; Peraturan terkait PULAU-PULAU KECIL

Undang-Undang No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Perpres No. 112 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi

MSPPKGNP1819 Man SD Pulau2 Kecil; EKOSISTEM PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia mempunyai sumber daya hayati yang tinggi. Kontribusi sumberdaya hayati pesisir saat ini terbanyak untuk memenuhi kebutuhan protein masyarakat dari perikanan pesisir dan laut.
Kebijakan pengembangan ekonomi padat karya dan berbasis bahan baku serta ekstraktif, menimbulkan kerusakan kawasan pesisir dan pulau kecil akibat kegiatan penambangan mineral, bahan baku konstruksi, reklamasi untuk infrastruktur baru, budidaya perikanan pesisir dan lain-lain. Kegiatan ini sangat mengancam kelestarian dan daya dukung hutan pesisir mangrove, terumbu karang, serta pulau pulau kecil yang merupakan sumber kehidupan masyarakat pesisir sejak lama.

UNDUH


MSPPKGNP1819 Man SD Pulau2 Kecil; PERAN STRATEGIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PULAU-PULAU KECIL (Studi Kasus)

Pelabuhan feeder di pulau-pulau kecil akan memberdayakan masyarakat pulau-pulau kecil tersebut melalui pengembangan pelayaran rakyat (Pelra). Pelayaran rakyat yang menggunakan kapal kayu buatan masyarakat setempat dan berukuran lebih kecil adalah cara yang paling tepat untuk mengubungkan pelabuhan feeder di pulau-pulau kecil dengan pelabuhan yang lebih besar mengingat pulau-pulau kecil adalah wilayah yang memiliki alur dengan kedalaman terbatas. Keberadaan pelabuhan feeder di pulau-pulau kecil tentunya akan menimbulkan multiplier effects bagi masyarakat di sekitarnya. Jika masyarakat pulau-pulau kecil tersebut berdaya, mereka akan tanggung berjuang memperbaiki ekonomi, sosial dan budayanya, sehingga dapat mewujudkan budaya maritim di masyarakat Indonesia secara paripurna.

UNDUH

MSPPKGNP1819 Man SD Pulau2 Kecil; PENGELOLAAN TERPADU PULAU-PULAU KECIL

Kegiatan pengelolaan pulau-pulau kecil menghadapi berbagai ancaman baik dari aspek ekologi yaitu terjadinya penurunan kualitas lingkungan, seperti pencemaran, perusakan ekosistem dan penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing) maupun dari aspek sosial yaitu penerimaan masyarakat lokal. Oleh karena itu, di dalam mengantisipasi perubahan-perubahan dan ancaman-ancaman tersebut, maka pengelolaan pulau-pulau kecil harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu antar sektoral.

 UNDUH MATERI

MSPPKGNP1819 Man SD Pulau2 Kecil; RANGKUMAN MATERI AJAR MSPPK

Pulau-pulau kecil didefinisikan berdasarkan dua kriteria utama yaitu luasan pulau dan jumlah penduduk yang menghuninya. Definisi pulau-pulau kecil yang dianut secara nasional sesuai dengan Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 Jo Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No. 67/2002 adalah pulau yang
berukuran kurang atau sama dengan 10.000 km2 , dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 200.000 jiwa. Di samping kriteria utama tersebut, beberapa karakteristik pulau-pulau kecil adalah secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas dan terpencil dari
habitat pulau induk, sehingga bersifat insular; mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi; tidak mampu mempengaruhi hidroklimat; memiliki daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke
laut serta dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya.

UNDUH DI SINI selengkapnya

MSPPKGNP1819 Man SD Pulau2 Kecil; KEBIJAKAN PENGELOLAAN PULAU2 KECIL INDONESIA

Membahas permasalahan pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia seharusnya tidak bisa hanya dilihat dari sudut pandang kebijakan pengelolaan sektoral ataupun kebijakan teknis yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Analisa permasalahannya harus juga dilihat kebijakan￾kebijakan lain yang dikeluarkan oleh kementerian teknis lain ataupun kebijakan general yang ada pada beberapa undang-undang yang ada di Republik ini. Jadi secara singkat, dapat disimpulkan bahwa untuk menyelesaikan permasalahan
pulau-pulau kecil di Indonesia maka kita tidak bisa hanya dengan mengajak KKP untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang “memahami” kebutuhan pengelolaan pulau-pulau kecil, tetapi juga perlu melihat kebijakan besar yang ada di Republik ini dan memetakan permasalahan pengelolaan pulau-pulau kecil dari sudut pandang kompleksitas kebijakan.

UNDUH DI SINI

MSPGNP1819/05 Manajemen Sumberdaya Perairan; HITUNG DEBIT (case study)

Contoh (studi kasus) perhitungan debit air.....Silahkan unduh materi berikut.

MSPGNP1819/04 Manajemen Sumberdaya Perairan; PENGELOLAAN AIR

Perubahn kondis permukan air sungai dalm jangka waktu yang panjg akn dapt
diketahui dengan mengadkan pengamtan permukan air sungaitu dalm jangka waktu
yang panjg. Debit sungai dapt diperoleh juga dari permukan air sungaitu. Dalm
persoaln pengendalin sungai, permukan air sungai yang sudah dikorelasikan dengan curah
hujan dapt mebantu mengadkan penyelidkan dat untk pengelakn banjir, peramlan
banjir, pengendalin banjir dengan bendungan. Dalm usah pemanfatn air, permukan air
sungaitu dapt digunakn untk mengetahui secar um banyaknyair sungai yang
tersdia, pentuan kapsita bendungan dan seterusnya

UNDUH

Perbuatan Zalim Pasti Dapat Balasan...PASTI !!!

Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa tidak akan selalu berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Dalam berinteraksi ini tak jarang terjadi gesekan satu sama lain sehingga menimbulkan kerugian pada salah satu pihak, baik kerugian yang mengancam jiwa, harta, maupun kehormatannya.

Seringkali terjadi di masyarakat seseorang diperlakukan secara zalim oleh lainnya, bahkan dikondisikan tanpa mampu membalas dan membela diri sendiri. Kondisi ini kerap membuat seseorang seolah semakin tak berdaya dan hanya bisa pasrah dengan keadaan. Seorang muslim dan mukmin yang mengalami hal demikian tak perlu merasa sedemikian susah karena Allah subhânahu wa ta’âla telah menjanjikan keadilan atas setiap perilaku zalim yang dilakukan para hamba-Nya. Keimanan yang dimiliki semestinya mampu menguatkan hatinya untuk tetap tegar dengan harapan keadilan yang dijanjikan itu.

Sebaliknya seorang muslim dan mukmin semestinya tidak berlaku zalim kepada sesama makhluk Allah baik berupa tindakan ataupun ucapan, karena sekecil apa pun tindak kezaliman pasti akan terbalaskan.

Di dalam Al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 42 secara tegas Allah menyatakan:

وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ

Artinya: “Dan janganlah sekali-kali engkau menyangka Allah lalai dari apa yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat zalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari di mana pandangan-pandangan terbelalak.”

Dari ayat tersebut jelas dinyatakan bahwa Allah akan memberikan balasan kepada setiap pelaku kezaliman kelak di hari kiamat di mana setap mata manusia akan terbelalak menyaksikan berbagai hal yang terjadi di hari kiamat.

Syekh Nawawi Banten dalam kitab tafsirnya Marâh Labîd menjelaskan bahwa apabila Allah tidak membalaskan bagi orang yang dizalimi atas kezaliman yang dilakukan oleh seorang hamba-Nya yang menzalimi, maka ada salah satu kemungkinan yang terjadi pada dzat Allah namun hal itu mustahil terjadi pada-Nya. Ketiga kemunginan itu adalah:

Pertama, bisa jadi Allah lalai dan lupa akan orang yang bertindak zalim tersebut. Jelas hal ini tidak mungkin terjadi pada dzat Allah. Tak mungkin Allah memiliki sifat lalai atau lupa pada apa dan siapa pun.

Kedua, bisa jadi Allah lemah tak mampu untuk melakukan pembalasan. Hal ini juga jelas mustahil terjadi pada dzat Allah. Tak mungkin Allah tidak mampu melakukan pembalasan kepada hamba-Nya sendiri.

Ketiga, Allah ridlo dengan tindak kezaliman yang dilakukan sang hamba. Ini juga tidak mungkin mengingat Allah sendiri yang mengharamkan para hamba-Nya melakukan tindak kezaliman di antara sesama hamba. Bahkan dalam berbagai ayat Allah juga menyatakan tidak akan berbuat zalim kepada para hamba-Nya. Karenanya tidak mungkin bila Allah ridlo terhadap suatu kezaliman sehingga tak melakukan pembalasan.

Ketiga kemungkinan tersebut semuanya adalah hal yang tak mungkin terjadi pada dzat Allah. Karena ketiga hal itu mustahil bagi Allah maka bisa dipastikan setiap tindak kezaliman yang dilakukan oleh seorang hamba kelak akan dibalas oleh Allah. Hanya saja balasan tersebut tidak segera dilakukan di dunia. Allah menangguhkannya sampai kelak datangnya hari kiamat di mana setiap mata akan terbelalak menyaksikan kedahsyatan yang terjadi di sana.

Imam Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi di dalam kitab tafsirnya Ma’âlimut Tanzîl menuturkan bahwa ayat di atas merupakan pelipur bagi orang-orang yang dizalimi dan juga ancaman bagi siapa saja yang berbuat zalim. Apakah anda merasa dizalimi atau malah menzalimi???

Mereka yang menerima perlakuan yang tidak semestinya tak perlu risau karena pada hari kiamat kelak Allah akan memberikan pahala berlipat baginya dan membalas pelakunya dengan balasan setimpal. Sementara setiap orang yang berlaku zalim mesti segera meminta maaf kepada yang dizaliminya karena balasan dari Allah pasti adanya.

Di era digital sekarang ini ayat ini juga menjadi alarm bagi kita untuk berhati-hati dalam berinteraksi melalui dunia maya. Menggunakan media sosial secara baik, benar dan cerdas adalah satu pilihan yang menjadkan kita bisa terhindar dari ancaman ayat tersebut. 

Sebaliknya postingan yang menebar kebohongan dan kebencian, yang menjadikan pihak tertentu merasa dirugikan dan terancam baik jiwa, harta maupun kehormatannya, adalah perilaku zalim yang menjadikan pelakunya sulit menghindar dari balasan Allah yang dinyatakan pada ayat tersebut. Wallîahu a’lam.

MSPGNP1819/03 Manajemen Sumberdaya Perairan; INDEKS KUALITAS AIR

Status mutu air harus bisa dikuantifikasikan dan diekspresikan dengan suatu indeks tunggal (single index) kualitas air (IKA) yang dapat dihubungkan dengan strategi operasional manajemen sungai yang ekologis dan berkelanjutan.
Dalam pendekatan tradisional, penentuan status mutu air dilakukan dengan membandingkan data
setiap parameter kualitas air konvensional (fisik, kimia, bakteriologi) dengan kondisi normatif kelas air setempat (baku mutu peruntukan air).

Selanjutnya...unduh di sini

MSPGNP1819/02 Manajemen Sumberdaya Perairan; METODE SAMPLING & PENGAWETAN SAMPEL

Apabila terdapat kesalahan dalam
pengambilan contoh air, maka contoh yang
diambil tidak representatif sehingga
ketelitian dan teknik peralatan yang baik
akan terbuang percuma

Selengkapnya: UNDUH

MSPGNP1819/01 MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN; INTEGRATED WATER RESOURCES MANAGEMENT

IWRM didefinisikan: sebagai suatu proses yang menekankan pada
koordinasi pengembangan dan pengelolaan sumber daya air, lahan dan sumber
daya lain yang terkait, untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan secara
merata tanpa mengorbankan kelangsungan ekosistem.

Konsep IWRM lebih lengkap silahkan unduh DI SINI