Pengelolaan wilayah pesisir (PWP) memerlukan pengaturan setingkat UU
karena, pertama, sumberdaya wilayah pesisir belum dikelola secara
optimal sehingga kontribusinya bagi kesejahteraan masyarakat di
sekitarnya sangat minimal. Kemiskinan masih mendera 32 persen dari 16,42
juta penduduk 8.090 desa pesisir. Kedua, berbagai bencana pesisir,
seperti tsunami, telah meluluhlantahkan pemukiman dan menewaskan ratusan
ribu orang tanpa dapat diantisipasi. Sesudah bencana terjadi, ternyata
ada indikasi yang sangat meyakinkan, bahwa wilayah pesisir yang
ekosistem terumbu karang dan mangrovenya masih baik mengalami kerusakan
relatif kecil. Ketiga, di berbagai belahan bumi yang wilayah pesisirnya
tertata baik terbukti mampu menumbuhkan investasi dan memberi kontribusi
ekonomi yang signifikan.UU PWP, secara substantif, juga akan melahirkan tradisi baru
pengelolaan wilayah pesisir. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3)
adalah sebuah norma baru dalam khasanah hukum nasional kita. Selama ini,
perairan pesisir dan laut senantiasa diletakkan di bawah bayang-bayang
doktrin open access, yang menutup peluang pemberian hak atas perairan
pesisir.
Harus diakui dominasi doktrin open access
masih kuat menguasai benak para pengambil kebijakan di negeri ini.
Mereka menganggap perairan pesisir dan laut sebagai milik semua orang
sehingga hukum harus memastikan bahwa setiap orang terlindungi aksesnya
pada perairan pesisir dan laut. Bagi penganut doktrin ini, di atas
perairan pesisir dan laut haram hukumnya diterbitkan hak, sebab akan
menimbulkan penguasaan yang eksklusif dan membatasi akses orang lain.
Pandangan semacam ini sangat anti-sejarah dan tidak sesuai dengan
tradisi lokal yang telah berlangsung turun-temurun. Sebuah risalah
menjelaskan bahwa doktrin open access sebenarnya berakar pada tradisi
masyarakat Negara-negara Atlantik Utara. Menurut tradisi ini, setiap
orang mempunyai hak untuk menangkap ikan di perairan mana saja sebagai
perwujudan hak asasi manusia. Karena itu, pengaturan yang membatasi hak
asasi tersebut, seperti pembatasan keikutsertaan atau kuota, tidak
diperkenankan.
Akan tetapi, sesudah wilayah perikanan mereka mengalami degradasi dan
overfishing, maka muncul kepentingan untuk “menularkan” doktrin
tersebut ke negara lain, tidak terkecuali Indonesia, demi kelangsungan
industri perikanan mereka. Harapannya, ketika doktrin menular ke negara
lain, maka kebijakan negara itu sudang barangtentu akan memberi akses
bagi armada perikanan Atlantik untuk ikut mengeksploitasi perairan
pesisir dan lautnya sebagai konsekuensi doktrin open access. Padahal,
negara-negara tersebut sesungguhnya memiliki tradisi pengelolaan
perairan pesisir dan laut yang berbeda. Bahkan, di Jepang, Srilanka,
Filipina, dan Thailand, jauh sebelumnya telah mempraktikkan pembatasan
keikutsertaan, bahkan ada pemberian fishing rights.
Di Indonesia, jauh sebelum jaman kolonial, telah berkembang tradisi
pengelolaan perairan pesisir yang memungkinkan penguasaan perairan
secara eksklusif. Di Aceh, perairan pesisir dapat dikuasai berdasarkan
ijin dari Sultan. Di Tegal, perairan pesisir dibagi-bagi di antara para
nelayan seperti gogolan yang silih berganti disediakan bagi mereka untuk
menangkap ikan. Di Banten, perairan pesisir dinamakan patenekan yang
hanya memberi hak kepada warga desa setempat untuk menagkap ikan. Sasi
laut di Maluku, awig-awig di Nusa Tenggara Barat, atau rompong di
Sulawesi Selatan merupakan contoh lain dari tradisi pengelolaan perairan
pesisir bernuansa property right yang hingga kini tetap bertahan.
Segenap sistem tradisional ini mempraktikkan penguasaan bagian
tertentu dari perairan pesisir secara eksklusif hanya bagi komunitas
tertentu dengan memberlakukan hukum-hukum yang mereka sepakati sendiri.
Mereka yang bukan anggota komunitas dilarang ikut memanfaatkan
sumberdaya perairan pesisir kecuali atas ijin pemimpin komunitas.
Perkembangan budidaya laut, seperti budidaya mutiara dan rumput laut,
pada kenyataannya juga memerlukan penguasaan perairan pesisir secara
permanen dan eksklusif. Selama ini, pengusaha budidaya mutiara hanya
diberikan ijin sebagai basis legal pemanfaatan perairan pesisir sehingga
tingkat kepastian hukumnya pun sangat rapuh. Dalam banyak kejadian,
perusahaan budidaya mutiara tergusur lantaran ada peruntukan lain yang
datang belakangan. Sesuatu yang tidak akan pernah terjadi sekiranya
mereka memiliki HP3. Bahkan untuk usaha budidaya rumput laut, ijin pun
mereka tidak punya, sehingga sangat rentan terhadap penggusuran untuk
kepentingan lain.
Dengan demikian norma hukum HP3 memiliki landasan historis,
sosiologis, dan yuridis yang kuat sehingga tidak perlu ada keraguan
untuk mengesahkannya. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana ruang
lingkup HP3? Berapa lama jangka waktu hak itu dapat diberikan? Siapa
saja yang dapat diberikan? Lembaga mana yang berwenang memberikan hak
tersebut?
***
Merujuk pada tradisi penguasaan perairan pesisir yang berkembang di
masyarakat lokal serta praktik pengaturan hak atas perairan di negara
lain, seperti Jepang dengan fishing right-nya, maka HP3 dapat mencakup
penguasaan atas bagian-bagian perairan pesisir untuk usaha perikanan
(termasuk budidaya mutiara dan rumput laut), pariwisata bahari, atau
usaha lainnya, tetapi tidak mencakup pertambangan dasar laut. HP3 hanya
dapat diberikan dalam wilayah laut teritorial.
Sebagai antisipasi munculnya konflik pemanfaatan setelah diberikannya
HP3, maka terlebih dahulu harus ditetapkan Rencana Strategis, Rencana
Zonasi, Rencana Pengelolaan, dan Rencana Aksi, sebagai prasyarat
pemberian HP3. Artinya, Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota,
terlebih dahulu harus menetapkan rangkaian perencanaan hirarkis tersebut
sebelum menerbitkan HP3.
Ikhwal jangka waktu HP3, sangat bergantung pada karakteristik usaha
yang akan dikembangkan. Jangka waktu tersebut sedemikian rupa supaya
kondusif bagi tumbuhnya investasi. Jangka waktu 50 tahun sudah sangat
memadai asalkan diberi peluang perpanjangan setelah jangka waktu pertama
berakhir. Namun bagi keperluan masyarakat lokal, baik untuk
kepentingan ekonomi maupun tradisi, jangka waktunya bisa tanpa batas,
sepanjang kenyataannya mereka masih memanfaatkannya secara efektif.
Lalu siapa yang berhak mendapatkan HP3? Prioritas pertama adalah
komunitas lokal atau masyarakat adat. Dalam praktiknya, komunitas ini
telah menguasai dan memanfaatkan perairan pesisir secara turun-temurun.
Khusus bagi komunitas ini, peruntukan HP3 tidak dibatasi hanya untuk
kegiatan ekonomi, tetapi juga kegiatan-kegiatan yang bernuansa relegi
dan kultural.
Subjek hukum lain yang dapat diberikan HP3 ialah Warga Negara
Indonesia dan Badan Hukum Indonesia. Perusahaan asing atau multinasional
tidak dapat diberikan HP3, sebagai konsekuensi prinsip nasionalitas.
Prinsip ini sudah menjadi preseden hukum, seperti tercermin dalam UU
Agraria, UU Pertambangan, dan UU Kehutanan. Namun demikian tidak berarti
perusahaan asing tertutup sama sekali peluangnya untuk berinvestasi di
wilayah pesisir, mereka dapat melakukannya melalui skim kerjasama dengan
perusahan berbadan hukum Indonesia pemegang HP3.
Adapun kewenangan pemberian HP3 seyogyanya merujuk pada UU
Pemerintahan Daerah, sebagai bentuk harmonisasi dan sinkronisasi hukum
nasional. Oleh karena itu, apabila HP3 terletak dalam wilayah perairan 4
mil, maka yang berwenang memberikan HP3 adalah bupati/walikota
setempat. Selebihnya, sampai 12 mil atau lintas wilayah kabuparen/kota
menjadi otoritas gubernur. Sedangkan pemerintah pusat, melalui
Departemen Kelautan dan Perikanan, berwenang memberikan HP3 yang
letaknya lintas wilayah propinsi atau wilayah strategis yang akan
ditentukan dalam UU PWP.
***
Pengesahan UU PWP yang, antara lain, mengatur HP3, sungguh merupakan
prestasi cemerlang anak bangsa ini. UU ini akan tercatat dengan
tinta emas dalam sejarah hukum Indonesia, seperti layaknya UU Agraria
1960. HP3 adalah terobosan hukum yang memiliki basis historis,
sosiologis, dan yuridis sekaligus.
Seperti UU Agraria yang perumusannya memerlukan waktu bertahun-tahun
dan melibatkan hampir semua pemangku kepentingan (stakeholders), maka UU PWP juga sudah menempuh jalan sejarah seperti itu. Naskah
akademiknya sudah disusun sejak tahun 2000 dan telah melibatkan hampir
seluruh pemangku kepentingan melalui berbagai konsultasi publik dan
diskusi internet. Sampai-sampai Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin saat itu di
hadapan sidang DPR bercanda: tinggal bajak laut saja yang belum sempat
mendiskusikan RUU PWP.***
Sebuah artikel oleh Sudirman Saad
*) Penulis adalah Ketua Masyarakat Perikanan Nusantara bidang Hukum dan
Advokasi dan penulis buku Politik Hukum Perikanan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar