Lahan basah yang banyak dikenal masyarakat seperti rawa-rawa, air
payau, tanah gambut merupakan wilayah yang tidak menarik bahkan
dianggap berbahaya. Banyak jenis serangga tinggal di kawasan ini
yang menjadikannya tempat tinggal (habitat) sehingga mampu
membentuk ekosistem tersendiri. Ekosistem lahan basah banyak
menyimpan berbagai satwa dan tumbuhan liar yang sebagian besar
menggantungkan hidupnya pada keberadaan lahan basah ini. Bahkan
dibandingkan dengan ekosistem lainnya ternyata ekosistem lahan basah
boleh dikatakan yang terkaya dalam menyimpan jenis flora dan fauna
(Hardjasoemantri,1991:214).
Tipologi ekosistem lahan basah dapat terdiri dari ekosistem air
tawar dan ekosistem estuarin. Ekosistem air tawar terdiri dari air
yang tenang seperti: empang, rawa, kolam dan air mengalir seperti:
sungai, sumber air. Sedangkan ekosistem estuarin terpengaruh adanya
pasang surut air laut, contohnya: payau, mangrove, rumput laut,
laguna. Lahan basah juga ada yang dalam bentuk alami, ada pula
dalam bentuk buatan seperti persawahan, tambak, kolam industri.
Baik lahan basah alami maupun buatan ternyata keberadaannya sangat
penting bagi ekosistem dunia. Bahkan penduduk di beberapa bagian
dunia ini sangat bergantung pada lahan ini. Contohnya adalah masyarakat
Asia yang sebagian besar hidupnya tergantung pada beras yang ditanam di
lahan basah (Elsworth,1990:477). Demikian juga dengan mayoritas
penduduk Indonesia bergantung pada lahan ini karena lebih dari 100
juta orang hidup di sepanjang pantai dan disekitar aliran sungai
(Noesreini,1993:21). Pengaturan mengenai ekosistem lahan basah secara global terdapat
dalam suatu Konvensi Internasional yang disponsori oleh IUCN (
International Union for Conservation of Nature and Natural Resources), sekarang:
The World Conservation Union). Konvensi ini bernama
Conventions on Wetlands of International Importance, Especially as Waterfowl Habitat atau disingkat sebagai
Ramsar Convention 1971.
Oleh pemerintah Indonesia konvensi ini telah diratifikasi
berdasarkan Surat Keputusan Presiden tanggal 19 Oktober 1991
dengan Nomer : R. 09.PRD/PU/X/1991. Dan melalui Undang-undang
No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya lahan basah dimasukkan kedalam wilayah perlindungan
sistem penyangga kehidupan. (Penjelasan pasal 8 UU No 5/1990).
Demikian juga dalam Keputusan Presiden No 32 tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung, tertanggal 25 Juli 1990 memasukkan
beberapa jenis lahan basah sebagai bagian dari kawasan yang
dilindungi. (Pasal 4 dan pasal 6 Keppres No 32/1990). Dengan melihat
ketentuan ini telah menunjukkan bahwa kawasan lahan basah merupakan
kawasan penyangga yang penting bagi kehidupan manusia dan
lingkungannya dan karena itu harus dilindungi.
Penggunaan kata Wetland berasal dari bahasa Inggris yaitu wet berarti
basah
dan land adalah tanah atau lahan. Jadi wetland diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia sebagai lahan basah. Namun tidak semua bahasa
mempunyai padanan kata atau arti yang sama dari bahasa Inggris ini.
Misalnya bahasa Polandia tidak memiliki istilah yang sama mengenai
wetland. (Sommer,1987:107). Sedangkan dalam bahasa Perancis para pakar
menggunakan istilah
Zone Humides. ( Untermair,1987:57). Menurut Steve Elsworth dalam
A Dictionary of The Environment mengartikan sbb:
Wetland is the collective name for all areas outside the
oceans which are permanently or periodically covered in water. (Elsworth,1990:476).
Menurut
Environmental Defender`s Office istilah lahan basah diartikan sebagai berikut (EDO,1992:218) :
Wetland is an area flooded or waterlogged often enough to have both terrestrial and aquatic characteristics.
Jadi lahan basah dapat dikatakan sebagai suatu wilayah
genangan atau wilayah penyimpanan air yang memiliki karakteristik
terresterial dan aquatik. Contoh yang dapat diambil adalah :
rawa-rawa, mangrove, payau, daerah genangan banjir, hutan genangan
serta wilayah sejenis lainnya. Sedangkan menurut Gareth Jones dkk
dalam
Reference Dictionary Environmental Science membatasi penggunaan lahan ini dengan menyatakan (Gareth Jones et al,1990:461) :
Wetland is any area of low-lying land where the water table is
at or near the surface for most of the time, resulting in open
water habitats and waterlogged land areas.
International Conference on Wetland and Waterfowl Conservation in South and West Asia tahun 1991 memberikan batasan sebagai berikut (Yayasan Mangrove,1993):
Wetlands is a broad term which encompassess a wide range of inland
coastal and marine habitat sharing the common feature of
temporary or permanent freshwater or shallow coastal waters.
Batasan ini nampaknya memberi penekanan pada adanya faktor
ketergenangan air tawar ataupun asin atau perairan pantai yang dangkal
baik permanen ataupun sementara.
Dari batasan-batasan tersebut, ternyata melalui Konvensi Ramsar
digunakan istilah yang berbeda dan dapat dikatakan merupakan
istilah yang dipakai secara internasional. Pasal 1 Konvensi Ramsar
menyatakan bahwa:
Wetland is area of marsh, flend, peatland orwater, whether
natural or artificial, permanent or temporary, with water that is
static or flowing, fresh, blockish or silt, including areas of marine
water the depth of which at low tide does not exceed six meters.(Konvensi Ramsar Pasal 1)
(Lahan basah adalah daerah-daerah rawa, payau, lahan
gambut dan perairan alami maupun buatan, tetap atau sementara,
perairan tergenang maupun mengalir yang airnya tawar, payau atau
asin, termasuk didalamnya wilayah perairan laut yang
kedalamannya pada waktu air surut tidak lebih dari enam meter).
Dari pengertian tersebut ternyata merujuk kepada daerah sebagai
berikut: daerah rataan terumbu dan padang lamun di daerah pesisir,
sampai rataan lumpur, hutan bakau, estuarin, sungai rawa air tawar,
hutan rawa, danau juga rawa dan danau berair asin.
Tegasnya, menurut William A Niering para pakar telah mengelompokkan 5 sistem lahan basah yaitu :
a. Marine
b. Estuarine
c. Lacustrine
d. Riverine
e. Palustrine
Lahan basah pada ekosistem
marine dan
estuarine
contohnya adalah: lahan basah pantai seperti rawa pasang surut,
mangrove (hutan bakau), sedangkan ketiga ekosistem lainnya adalah
termasuk dalam ekosistem air tawar.
Lacustrine contohnya adalah perairan danau.
Riverine contohnya adalah kali, sungai kecil.
Palustrine contohnya: rawa-rawa, payau, tanah berlumpur atau daerah yang sejenis lainnya.
Kawasan lahan basah seperti rawa-rawa, hutan bakau, hutan air payau
pada mulanya belum disadari sebagai kawasan yang berguna dan
menguntungkan. Hal ini mengingat resiko tinggi yang dihadapi oleh
penduduk yang tinggal di daerah sekitarnya. Sebagai contoh yang
cukup mengganggu bagi mereka di mana bahaya timbulnya penyakit
seperti malaria dari nyamuk yang tinggal di rawa-rawa atau serangan
hewan liar seperti ular, buaya, serta jenis lain, kadang-kadang
datang ke perkampungan penduduk yang tinggal di sekitar daerah
rawa. Sehingga daerah rawa tersebut dianggap sebagai wilayah yang
kurang bermanfaat serta tidak menarik untuk didatangi.
Namun demikian di beberapa tempat ternyata penduduknya sangat
tergantung hidupnya pada adanya lahan ini, misalnya penduduk yang
tinggal di daerah pantai amat tergantung pada ikan atau udang
yang habitatnya ada yang bergantung pada muara sungai atau hutan
bakau. Adanya rawa-rawa ternyata merupakan tempat penyerapan air
sehingga bila hujan datang maka daerah ini sangat menguntungkan bagi
resapan air hujan. Jika rawa-rawa dihancurkan akan menyebabkan air
hujan tidak tertampung dan terserap yang dapat mengakibatkan
timbulnya banjir. Selain itu ternyata rawa-rawa atau beberapa jenis
lahan basah lainnya berfungsi menjadi habitat beberapa spesies flora
dan fauna. Sehingga mampu untuk mendukung peningkatan populasi bagi
flora dan fauna yang cenderung punah. Di sinilah peran lahan
basah dalam membantu proses keseimbangan alam secara alami
antara mahluk hidup dengan lingkungannya.
Selain itu beberapa manfaat lain dari adanya lahan basah yaitu :
Manfaat Ekologis
- Membantu menyerap unsur-unsur hara yang penting serta bahan makanan yang berguna bagi mahluk hidup sekitarnya.
- Menyediakan air sepanjang tahun khususnya ke akuifer (pengisian kembali air tanah) dan lahan basah lain.
- Mengendalikan terjadinya luapan air pada musim penghujan.
- Menjernihkan air buangan serta dapat menyerap bahan-bahan polutan dengan kapasitas tertentu.
- Mencegah intrusi air asin.
- Membantu melindungi daerah pantai dari aktivitas gelombang dan badai.
- Mengendalikan erosi serta mampu menahan lumpur
- Penting untuk konservasi khususnya siklus spesies tanaman, ekosistem, bentang alam, proses alam, komunitas.
- Kontribusi pada kelangsungan proses dan sistem alami yang ada; proses dan sistem ekologi, penyerapan karbon, mengontrol kadar garam tanah dan pengembangan tanah asam sulfat (Noesreini,1993).
Manfaat Ekonomis
- Sumber produk alami dalam dan di luar lahan.
- Sebagai habitat yang banyak memberikan spe-
sies flora dan fauna yang dapat dimanfaatkan
untuk pengobatan tradisionil penduduk.
- Sebagai sumber makanan.
- Produksi energi.
Manfaat Pariwisata
- Kesempatan untuk memberikan rekreasi.
- Obyek turisme.
- Dapat dijadikan suaka alam dan kawasan per-
lindungan.
Manfaat Ilmiah
- Penelitian ekosistem lahan basah.
- Observasi spesies flora dan fauna.
Masih banyak manfaat lainnya yang belum disebutkan. Seperti yang
disebutkan oleh Howe (1991) yang menyatakan ada sekitar 18 manfaat
lahan basah dengan membagi 3 hal berdasarkan fungsi, penggunaan dan
ciri-cirinya. Selain itu ada juga yang membagi 2 hal dalam
memanfaatkan lahan basah ini yaitu pemanfaatan konsumtif dan
pemanfaatan non-konsumtif (Pakpahan & Pakpahan,1994:6).
Namun pada prinsipnya penggunaan lahan basah untuk kepentingan
kegiatan tertentu harus memiliki batas tertentu, artinya penggunaan
lahan ini tentu saja tidak sampai merusak atau mengubah ekosistem yang
ada. Karena itu kawasan lahan basah yang masih alami dan mempunyai
nilai yang tinggi harus merupakan wilayah yang dimasukkan dalam
kawasan konservasi dan perlu dilindungi secara legal. Hal ini
mengingat tekanan terhadap lingkungan lahan basah semakin tinggi
karena adanya tuntutan kebutuhan manusia untuk memperluas
penggunaan lahan bagi kepentingannya.
Dari fungsi dan peran yang berarti dari lahan basah tersebut
maka perlu adanya pengaturan secara global. Keberadaan pengaturan
internasional yang berkaitan dengan lahan basah dimaksudkan agar
perlindungan terhadap kawasan ini dapat terjamin secara hukum.
Artinya penghilangan kawasan lahan basah yang telah dilindungi tidak
dilakukan begitu saja tanpa ada pihak yang bertanggungjawab mengingat
telah banyak kawasan lahan basah di dunia ini telah berkurang.
Di Amerika Serikat lebih dari 50 % lahan basah yang ada pada jaman
kolonial sekarang telah hilang. Di negara-negara berkembang telah
terjadi perubahan lahan basah akibat penggunaan waduk dan
saluran irigasi. (Elsworth, 1990:478-479). Mengenai berkurangnya
lahan basah contoh yang sedang terjadi adalah di daerah Pantanal
di Brazil mempunyai rawa-rawa seluas 110.000 km
2, yang
mungkin terluas dan paling beragam di Amerika Selatan. Kawasan
tersebut telah diklasifikasikan oleh UNESCO sebagai kawasan penting
internasional. Sayangnya kawasan ini menderita akibat semakin meluasnya
pertanian, pembuatan bendungan dan berbagai bentuk pembangunan lainnya
(WCED,1987:203). Adanya pengaturan ini diharapkan beberapa lahan
basah yang masih ada di dunia dapat dilindungi serta pengembalian
kembali kawasan yang rusak untuk dikonservasi jika masih memungkinkan.
Sebenarnya usaha untuk mengatur masalah ini telah mulai dilakukan
sekitar 30 tahun yang lalu. Di tahun 1961 atas inisiatif AQUA Project
telah dibentuk suatu Masyarakat Internasional mengenai masalah Danau
(Societas Internationalis Limnologiae).
UNESCO juga menyebutkan bahwa danau dan sungai besar merupakan wilayah
konservasi yang penting. Di tahun 1962 Konferensi MAR yang diadakan
oleh
International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) yang sekarang dikenal dengan nama
the World Conservation Union ,
the International Waterfowl Research Bureau (IWRB) dan
International Council for Birds Preservation (ICBP)
menyatakan untuk memfokuskan perhatian dan mengkoordinasi
tindakan-tindakan mengenai konservasi lahan basah Palearctic. Hasil
kerjasama selanjutnya adalah mengembangkan
The Convention on Wetlands of International Importance Especially as Waterfowl Habitat.
Selanjutnya Konvensi ini diadopsi di Ramsar, Iran tahun 1971 dan
berlaku pada bulan Desember 1975 setelah deposit terakhir dilaksanakan
oleh pemerintah Yunani (Dugan J.P,1987:6). Konvensi ini berada dalam
daftar perjanjian internasional UNESCO yang mewakili organisasi
internasional di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa. Kedudukan
Sekretariat Jenderal Konvensi ini berada di kota Gland, Swiss dan
memiliki kantor cabang di kota Slambridge, Inggris.
Sebagai suatu Konvensi Internasional yang pertama mengenai lahan
basah, ternyata telah mampu menjadi perhatian berbagai pemerintah dan
masyarakat internasional khususnya dalam menangani sumber-sumber alam
yang ada pada lahan basah dan hewan migrasi (migran spesies) yang sangat
tergantung pada sumber-sumber makanan di lahan basah. Hal ini
berkaitan dengan adanya peningkatan kerusakan serta polusi yang
terjadi secara lintas batas terhadap lahan basah ini . Sehingga hal
ini menuntut adanya penyelesaian secara internasional dengan perlunya
melibatkan kerjasama antar negara khususnya dalam pengelolaan serta
pelestarian flora serta fauna yang termasuk dalam kategori spesies
migran. Tindakan-tindakan untuk melaksanakan konvensi telah dilakukan
antara lain dengan membentuk
Ramsar Convention`s Database. Dengan suatu kerjasama antara
World Conservation Monitoring Center
(WCMC) dan dengan IWRB telah dikembangkan suatu konsep data dasar
lokasi lahan basah berdasarkan Konvensi Ramsar. Dengan dukungan
pemerintah Swiss dan Inggris proyek ini telah didemonstrasikan
dalam pertemuan keempat para pihak penandatangan Konvensi Ramsar di
kota Montreux , Swiss tahun 1990.
Dengan demikian konvensi ini juga telah memberikan kesadaran
lingkungan khususnya kepeduliannya terhadap lahan basah. Karena itu
dalam pertemuan-pertemuan global selanjutnya, masalah lahan basah
merupakan issu yang menarik. Tahun 1990 masalah lahan basah ini
telah dimasukkan dalam
World Conservation Strategy. Januari 1992 di Dublin, Irlandia dalam
WMO Conference,
IUCN telah membantu mempersiapkan naskah mengenai peranan
penting lahan basah, pengaturannya serta pengelolaannya pada lahan
basah air tawar. Hasil dari Dublin ini merupakan salah satu masukkan
dalam KTT Bumi di Rio De Janerio bulan Juni tahun 1992.
Konvensi Ramsar tahun 1971 merupakan suatu instrumen perjanjian
internasional yang telah dibuat dan dibentuk untuk memobilisasi tindakan
dan melindungi wilayah lahan basah dari kehilangan yang cepat
di seluruh dunia. Konvensi Ramsar atau
Wetlands Convention dengan nama lengkapnya adalah
Conventions on Wetlands of International Importance, Especially as Waterfowl Habitat
yang terdiri dari 12 pasal ini ditandatangani di kota Ramsar, Iran
pada tanggal 2 Februari 1971 oleh 35 negara, 21 dari Eropa dan 13
dari negara berkembang. Konvensi ini kemudian baru berlaku pada
tanggal 21 Desember 1975 setelah memenuhi syarat ratifikasi
berlakunya konvensi. Tujuan dari terbentuknya Konvensi ini adalah
menghindari hilangnya lahan basah dan menjamin pelestariannya,
mengingat kepentingannya dalam proses ekologi dan kekayaan yang
terkandung di dalamnya seperti spesies flora dan fauna. Karena
itu para pihak peserta mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus
dilaksanakan setelah menandatangani atau tunduk pada konvensi ini.
Kewajiban umum setiap pihak adalah menjaga pelestarian lahan basah
di wilayah jurisdiksi teritorialnya dan kewajiban khususnya adalah
turut serta melindungi lahan basah yang memiliki kepentingan
internasional yang termasuk dalam daftar yang telah ditentukan
konvensi.
Tahun 1985 ada 300 lokasi yang luasnya 200 juta hektar are telah
ditetapkan dalam daftar internasional yang memiliki manfaat ekologi,
pertanian, botani, zoologi, limnologi atau hidrologi (MacKinnon et
al,1990:293). Sampai tahun 1992 ada 549 kawasan lahan basah di 65
negara (lebih dari 20 negara adalah negara berkembang sudah
dimasukkan dalam daftar Konvensi (Birnie & Boyle,1992:466)
Pengakuan dari adanya saling ketergantungan antara manusia dan
lingkungannya tercermin dalam Preambule Konvensi Ramsar 1971.
Dikemukakan pula suatu alasan bahwa pentingnya perlindungan
internasional untuk lahan basah semacam itu adalah karena fungsi
ekologisnya yang telah berperan sebagai pengatur pengairan dan
membentuk wilayah tersendiri bagi flora dan fauna khususnya burung
unggas. Selanjutnya disebutkan bahwa lahan basah merupakan sumber
utama perekonomian, kebudayaan, ilmu pengetahuan maupun nilai
rekreasi, dengan hilangnya lahan basah sulit untuk dapat diganti.
Berdasar hal inilah maka lahan basah merupakan bagian dari habitat
penting bagi flora dan fauna serta memiliki keterkaitannya
dengan manusia yang tinggal di sekitar kawasan tersebut dan karenanya
perlindungan harus dilakukan secara global.
Kemudian dalam Pasal 1 ayat (1) definisi dari lahan basah
(wetland) adalah :
“areas of marsh, fen, peatland orwater, wheter natural or
artificial, permanent or temporary, with water that is static or
flowing, fresh, blockish or silt, including areas of marine water the
depth of which at low tide does not exceed six meters”.
Dari definisi lahan basah di atas sebenarnya wilayah pantai yang
kurang dari kedalaman 6 meter masih dianggap termasuk dalam
definisi ini. Namun mengenai sejauhmana wilayah berlakunya masih
perlu diperinci lagi mana yang termasuk daftar dalam konvensi ini.
Karena itu Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa perlunya dibuat
pilihan lahan basah untuk dimasukkan dalam suatu daftar yang
didasarkan pentingnya makna internasional yang terkandung baik dari
sudut ekologi, botani, zoologi, limnologi dan hidrologi. Pasal
ini juga diperuntukkan bagi burung unggas dalam musim apapun perlu
dimasukkan sebagai bagian dari lahan basah yang memiliki makna
internasional.
Pasal 2 ayat (4) menyatakan :
Each contracting party shall designate at least one wetland to be
included in the list when signing this Convention or when depositing
its instrumen of ratification or accession, as provided in Article 9.
Dari pasal di atas telah ditetapkan persyaratan setiap anggota untuk
memiliki sekurang-kurangnya sebidang lahan basah yang mempunyai
makna internasional pada waktu negara tersebut menandatangani
atau meratifikasi dan tunduk pada konvensi.
Pasal 2 ayat 6 menyatakan bahwa setiap negara anggota dapat
dikatakan memiliki pertanggungjawaban secara langsung dan seketika
setelah menandatangani konvensi ini, maksudnya negara anggota mempunyai
kewajiban langsung untuk mengganti kerugian atas lahan basah yang
hilang. Hal ini berkaitan dengan Pasal 4 (2). Pasal 3 menyatakan bahwa
negara anggota merumuskan dan melaksanakan perencanaan sedemikian
rupa sehingga mengembangkan konservasi dari lahan basah yang
termasuk dalam daftar. Namun demikian diusahakan pula negara anggota
dapat mengembangkan penggunaan arif
(wise use) dari lahan basah
yang ada di wilayah negaranya. Pasal tersebut menyatakan juga bila
terjadi perubahan ekologis dari lahan basah yang masuk dalam daftar
konvensi, negara anggota wajib memberitahukan kepada
International Waterfowl Research Bureau (IWRB).
Selanjutnya Pasal 4 konvensi menyebutkan bahwa setiap negara
anggota diwajibkan untuk mengembangkan lahan basah serta memperhatikan
keberadaan burung unggas dengan mendirikan cagar alam di lahan
basah, dengan tidak memperhatikan apakah lahan tersebut termasuk dalam
daftar atau tidak. Juga diwajibkan pula untuk menyediakan penjagaan
yang memadai.
Pasal 6 Konvensi Ramsar 1971 menyatakan bahwa perlunya
ditetapkan konperensi yang teratur dan negara-negara anggota
diwajibkan hadir serta diharapkan dapat memberikan rekomendasi
mengenai konservasi, pengelolaan serta pengaturan secara bijaksana
lahan basah beserta flora dan faunanya. Negara anggota menjamin
bahwa rekomendasi tersebut akan memperoleh perhatian. Pasal 8
menyatakan IUCN akan melaksanakan kelangsungan tugas-tugas biro di
bawah konvensi ini. Untuk memperkuat peranan konvensi ini maka sejak
tahun 1988 telah didirikan kantor independen yang dikepalai oleh
seorang Sekretariat Jenderal. (Birnie & Boyle,1992:465). Pasal 9
(2) menyebutkan mengenai tata cara bagaimana negara-negara dapat
tergabung dalam konvensi ini. Adapun tata cara ini terbagi dalam 3 hal
yaitu :
- Penandatanganan tanpa syarat bagi pengesahan.
- Penandatanganan sebagai dasar pengesahan yang
selanjutnya disyahkan.
- Tambahan
(Accession).
Pasal 9 (3) mengenai penyimpanan dokumen (pendepositan) dilakukan kepada Direktur Jenderal UNESCO.
Setelah diberlakukan konvensi ini ternyata banyak menimbulkan
masalah khususnya mengenai intrepretasi dan kewajiban yang dimiliki
negara anggota peserta konvensi. Sebagai contoh apakah para pihak
memiliki suatu kewajiban untuk menunjukkan lokasi yang didaftar di
semua negara atau hanya di negaranya saja. Kelemahan lain yang penting
adalah penggunaan istilah
“wise use” (penggunaan yang bijaksana).
Dalam pertemuan di Regina, Saskatchewan (Canada) pada tanggal 27- 5
Juni 1987 telah dicapai suatu kemajuan yang penting. Kriteria
penggunaan istilah
“wise use” telah diperjelas dan
disempurnakan sehingga dapat diterima oleh seluruh negara anggota.
Kriteria menetapkan pilihan lahan basah juga telah dibuat dan khusus
pada lahan basah yang memiliki makna internasional telah
diidentifikasi dan dilampirkan dalam Annex Rekomendasi Regina.
Ditetapkan pula suatu petunjuk mengenai penggunaan secara bijak dalam
pengembangan lahan basah.
Kemudian para pihak peserta konvensi juga sepakat untuk mengadakan
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan konvensi. Kegiatan tersebut
dilaksanakan dengan diadakannya pertukaran informasi dan pengalaman di
antara negara anggota. Kemudian pengembangan kebijaksanaan serta
peraturan yang berkaitan dengan konvensi. Diadakan pula tukar menukar
tenaga ahli dalam bidang yang kelak akan mampu menjadi bahan
pertimbangan dalam menentukan kebijaksanaan selanjutnya. Para pihak
juga menyetujui didirikannya suatu Sekretariat Jenderal yang
terlepas namun tetap dibawah koordinasi IUCN yang hal ini baru
terlaksana setahun kemudian.
Pertemuan-pertemuan antar negara anggota sangat penting dalam
melaksanakan konvensi ini. Pertemuan-pertemuan yang pernah
diadakaan selama ini antara lain :
Tahun 1980 – Cagliari, Italia
Tahun 1982 – Paris, Perancis
Tahun 1984 – Groningen, Belanda
Tahun 1987 – Regina, Canada
Tahun 1990 – Montreaux, Swiss
Tahun 1992 – Dublin, Irlandia
Wilayah yang termasuk ekosistem lahan basah di Indonesia ternyata
sangat luas yaitu sekitar 37 juta hektar are. Pulau Sumatera memiliki
13,5 juta hektar are, Jawa dan Bali 119 ribu hektar are, Nusa
Tenggara 51 ribu hektar are, Kalimantan 10,2 juta hektar are,
Sulawesi 605 ribu hektar are, Maluku 189,5 ribu hektar are dan yang
terakhir adalah Irian Jaya seluas 12,8 juta hektar are. Namun luasnya
lahan basah hampir setiap tahun terus berkurang. Hal ini
dikarenakan semakin meningkatnya proyek pembangunan serta
jumlah penduduk yang meningkat sehingga menimbulkan tekanan terhadap
penggunaan serta peruntukan lahan basah.
Umumnya lahan basah yang ditemukan di Indonesia seperti endapan
tanah rendah sesudah air pasang surut, genangan air, mangrove (hutan
bakau) yang banyak terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya.
Jenisnya dapat terdiri dari rawa pasang surut, rawa air tawar dan
mangrove. Menurut Silvius (1989) ada 7 tipe lahan basah utama yang
dimiliki Indonesia yaitu :
-
Mangrove Forest
– Peat Swamp
– Freshwater Swamp
– Beach Vegetation
– Freshwater Lakes
– Seasonal Freshwater Swamp
– Seasonal Peat Swamp
Menurut Directory of Asian Wetland yang diterbitkan oleh IUCN, WWF,
Asian Wetland Burau rawa pasang surut pada mulanya diduga sekitar
206.950 km
2 mengalami pengurangan sekitar 169.750 km
2 termasuk daerah perlindungan sekitar 16.700 km
2. Rawa air tawar berkurang sekitar 51.850 km
2 termasuk daerah perlindungan sekitar 10.250 km
2 yang pada mulanya sekitar 115.600 km
2. Sedangkan hutan bakau pada mulanya seluas 41.850 km
2 berkurang sekitar 29.000 km
2 termasuk derah perlindungan sekitar 6.700 km
2.
Jenis lahan basah lainnya banyak ditemukan di berbagai wilayah
Indonesia. Ada habitat sungai dan danau, dengan air terjun seperti yang
terdapat di dekat danau Toba dengan air terjunnya Siguragura. Kemudian
banyak wilayah hutan payau dan rawa-rawa di banyak wilayah sekitar
daerah genangan atau sungai-sungai. Di Memberamo Irian Jaya terdapat
danau yang unik dan tidak terdapat di tempat lain. Indonesia juga
memiliki wilayah lahan basah buatan yang terbesar di dunia termasuk
jutaan hektar sawah dan paling sedikit 200.000 ha terdiri atas tambak
atau kolam.
Luasnya lahan basah di Indonesia sebenarnya perlu ada pengaturan
secara khusus. Melalui Keputusan Presiden Nomor R.09/PRD/PU/X/1991
telah diratifikasi Konvensi Ramsar pada tanggal 19 Oktober 1991
dengan dilakukannya penetapan Taman Nasional Berbak sebagai daftar
situs Konvensi Ramsar 1971.
Dalam pertemuan tahunan ke-18 Majelis
Umum IUCN yang diadakan di kota Perth, Australia tahun 1990, dalam
salah satu resolusinya telah memutuskan penambahan daftar wilayah
konservasi yaitu Danau Eyre, Australia dan Hutan Bakau Teluk Bintuni di
Irian Jaya ke dalam daftar konservasi Konvensi Ramsar 1971.
Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia telah ada peraturan yang
secara tidak langsung berkaitan dengan lahan basah. Staatblad 1932 No
17 “Natuurmonumenten en Wildreservaten Ordonnantie” yang diganti oleh
the Nature Protection Ordinance of 1941 (Statblad 1941 No 167).
Setelah kemerdekaan dikeluarkan UU Perhutanan tahun 1967, melalui
Undang-undang No 5 tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Hayati dan
Ekosistem diatur beberapa wilayah lahan basah yang termasuk dalam
kawasan penyangga kehidupan.
Pasal 9 (1) UU No 5 tahun 1990 menyebutkan bahwa:
“Setiap pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan
dala sitem penyangga kehidupan wajib menjaga kelangsungan fungsi
perlindungan wilayah tersebut.”
Kemudian dalam penjelasannya yang dimaksud dengan hak
pengusahaan perairan adalah hak yang diberikan pemerintah untuk
memnfaatkan sumber daya alam yang ada di perairan baik yang bersifat
ekstratif maupun non-ekstratif bukan hak penguasaan atas wilayah
perairan tersebut. Perairan Indonesia meliputi perairan pedalaman
(sungai, danau, rawa dan genangan air lainnya), laut wilayah Indonesia
dan Zone Ekonomi Eksklusif.
Jadi dari penjelasan di atas daerah lahan basah termasuk ke dalam
wilayah pedalaman yang dalam pemanfaatannya tetap menjaga
kelangsungan dari fungsi wilayah tersebut. Oleh karena itu jika ada
hutan bakau yang berada wilayah yang dilindungi maka tidak boleh
dirusak atau dihancurkan. Kasus ini pernah terjadi di Indonesia di
mana hutan bakau di wilayah Muara Angke (Jakarta) telah direklamasi
untuk dibuat perumahan Pantai Indah Kapuk.
Dalam Keputusan Presiden No 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung, tertanggal 25 Juli 1990 menyebutkan beberapa jenis
lahan basah yang dilindungi. Pasal 1 no 4 dan 11 menyebutkan jenis
tersebut seperti :
Kawasan bergambut adalah kawasan yang unsur pembentuk
tanahnya sebagian besar berupa sisa-sisa bahan organik yang
tertimbun dalam waktu yang lama.
Kawasan pantai berhutan bakau adalah kawasan pesisir laut
yang merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove) yang
berfungsi memberikan perlindungan kepada perikehidupan pantai dan
lautan.
Pasal 4 Keppres tersebut menyebutkan :
“Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 terdiri dari:
1. Kawasan Hutan Lindung
2. Kawasan Bergambut
3. Kawasan Resapan air
Jadi kawasan bergambut dapat dikategorikan sebagai kawasan lindung secara tidak langsung.
Pasal 5 menyatakan :
” Kawasan perlindung setempat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 terdiri dari :
1. Sempadan Air.
2. Sempadan Sungai
3. Kawasan sekitar Danau/Waduk
4. Kawasan sekitar Sungai
Pasal 6 menyatakan :
“Kawasan suaka alam dan cagar budaya sebagaimana di maksud dalam pasal 3 terdiri dari :
1. Kawasan Suaka alam
2. Kawasan Suaka Alam Laut dan Perairan Lainnya
3. Kawasan Pantai Berhutan Bakau
4. Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata
Alam
5. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan.
Mengenai kriteria kawasan-kawasan ini diatur kemudian dalam beberapa pasal antara lain Pasal 10 berbunyi:
“Kriteria kawasan bergambut adalah tanah bergambut dengan
ketebalan 3 meter atau lebih yang terdapat di bagian hulu sungai dan
rawa.”
Pasal 27 menyatakan:
“
Kriteria kawasan hutan bakau adalah minimal 130 kali nilai
rata-rata perbedaan air pasang teringgi danterendah tahunan diukur dari
garis air surut terendah ke arah darat.”
Pasal 26 menyatakan :
“Perlindungan terhadap kawasan pantai berhutan bakau dilakukan
untuk melestarikan hutan bakau sebgi bentuk ekosistem hutan bakau
dan tempat berkembangbiaknya berbagai biota laut di samping
sebagai pelindung pantai dan pengikisan air laut serta pelindung usaha
budidaya di belakangnya.”
Dalam Keputusan Menteri Kehutanan No 399/Kpts-II/90 tentang
Pedoman Pengukuhan Hutan, Tertanggal 6 Agustus 1990 dalam pasal 15
bagian c menyebutkan pula bahwa pada trayek batas yang melalui
rawa-rawa di pasang pal batas dari kayu helam bulat atau jenis lain
kelas I/II atau pohon batas.
Maksud dari peraturan ini adalah bahwa dalam mengatur mengenai
batas kawasan lindung serta penataannya perlu diberikan
kepastian hukum dan khusus yang berkenaan dengan daerah rawa maka
batas tersebut ditentukan dengan kriteria seperti pada pasal ini. Hal
yang terpenting adalah Pengumuman Menteri Kehutanan Mei 1993 yang
menyebutkan diperluasnya area konservasi terestrial dari 19 juta ha
menjadi 30 juta ha dengan penekanan pada lahan basah termasuk mangrove.
Kelembagaan nasional yang sementara ini memiliki otorita
konservasi lahan basah telah dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (Dirjen PHPA). Dalam
ratifikasi konvensi Ramsar 1971 maka sebagai Managemen Administratif
Indonesia adalah Departemen Kehutanan c.q. Dirjen PHPA yang dapat
mengkoordinasi serta bekerjasama dengan instansi lain sehingga
diharapkan dapat terbentuk Komite Nasional mengenai lahan basah
(Dirjen PHPA,1994)