Red tide atau blooming plankton merupakan fenomena yang terjadi akibat ledakan perkembangan yang begitu cepat dari jenis fitoplankton, misalnya Ptychodiscus brevis, Prorocentrum, Gymnodinium breve, Alexandrium catenella dan Noctiluca scintillans dari kelompok dinoflagelata (Phyrropyta) yang dapat menyebabkan perubahan warna dan konsentrasi air secara drastis, kematian massal biota laut, perubahan struktur komunitas ekosistem perairan, bahkan keracunan dan kematian pada manusia.
Ciri-ciri terjadinya Red Tide atau blooming plankton:
Perubahan warna air laut atau estuaria dari hijau biru menjadi merah, merah kecoklatan, hijau atau kuning hijau.
Kematian biota laut
Perubahan bau.
Faktor Pemicu Ledakan Populasi :
Populasi blooming fitoplankton di suatu peraian disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan perairan sebagai berikut:
Upwelling
Upwelling sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi ledakan alga, dapat didefinisikan sebagai peristiwa menaiknya massa air laut dari lapisan bawah ke permukaan (dari kedalaman 150 – 250 meter) karena proses fisik perairan. Proses upwelling terjadi karena kekosongan massa air pada lapisan permukaan, akibat terbawa ke tempat lain oleh arus. Upwelling dapat terjadi di daerah pantai dan di laut lepas. Di daerah pantai, upweling dapat terjadi jika massa air lapisan permukaan mengalir meninggalkan pantai. Untuk laut lepas, proses upwelling dapat terjadi karena adanya pola arus permukaan yang menyebar (divergence), sehingga massa air dari lapisan bawah permukaan akan mengalir ke atas mengisi kekosongan yang terjadi karena menyebarnya arus. Adanya proses ini ditandai dengan turunya suhu permukaan laut yang cukup mencolok (sekitar 2oC untuk daerah tropis, dan > 2oC untuk daerah sub tropis). Upwelling dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:
Jenis tetap (stationary type), yang terjadi sepanjang tahun meskipun intensitasnya dapat berubah ubah. Di sini akan berlangsung gerakan naiknya massa air dari lapisan bawah secara mantap dan setelah mencapai permukaan, massa air bergerak secara horizontal ke luar, seperti yang terjadi di lepas pantai Peru.
Jenis berkala (periodic type) yang terjadi hanya selama satu musim saja. Selama air naik, massa air lapisan permukaan meninggalkan lokasi air naik, dan massa air yang lebih berat dari lapisan bawah bergerak ke atas mencapai permukaan.
Jenis silih berganti (alternating type) yang terjadi secara bergantian dengan penenggelaman massa air (sinking). Dalam satu musim, air ringan di lapisan permukaan bergerak ke luar dari lokasi terjadinya air naik dan air lebih berat di lapisan bawah bergerak ke atas yang kemudian tenggelam.
Pada musim semi sering terjadi pelimpahan plankton, Musim semi
membawa suhu hangat dan sinar matahari meningkat, menciptakan termoklin
yang memerangkap nutrisi pada permukaan laut. Hal ini memungkinkan
fitoplankton untuk menyerap energi dan mengambil dalam nutrisi yang
mereka butuhkan untuk berfotosintesis dan berkembang biak. Nutrisi (unsur hara) yang melimpah dalam perairan untuk
energy dan pertumbuhannya, sehingga meningkatkan pertumbuhan
fitoplankton dengan cepat.
Masuknya nutrisi atau eutrofikasi
Masuknya nutrisi atau eutrofikasi ke dalam laut bertanggung jawab terhadap terjadinya proses peledakan algae, baik itu mikro algae yang berkembang di daerah perairan dangkal atau di perairan yang dalam yang dapat berasosiasi dengan endemic hipoksia di dasar. Adanya hujan lebat juga berpeluang membawa nutrisi serta masuknya air tawar ke laut dalam jumlah yang besar.
Penolakan pemakanan
Penolakan pemakanan oleh predator herbivora terhadap jenis plankton yang beracun
Dampak Red TidePeningkatan populasi fitoplankton yang sangat tinggi dan cepat akan berakibat pada beberapa hal, antara lain 1. Ikan dan Kerang :
Tingginya populasi fitoplankton di dalam air, ini akan menyebabkan berbagai akibat negatif bagi ekosistem perairan, seperti : O2 berkurang sehingga air mengandung racun yang menyebabkan kematian organisme yang ada dalam perairan seperti ikan,Terjadinya kontaminasi sea food, dan perubahan struktur komintas ekosistem
2. Manusia
Penyakit atau kematian manusia melalui konsumsi makanan laut yang terkontaminasi oleh alga beracun
Sistem saraf, pencernaan dan pernapasan terganggu
Iritasi kulit dan mata
3. Perikanan
Toksin yang dihasilkan oleh melimpahnya suatu kelompok fitoplankton (dinoflagelatta) sehingga membunuh organisme seperti ikan.
Kerusakan mekanik organisme lain, seperti gangguan jaringan epitel insang pada ikan, sehingga asfiksia
Menghilangnya ikan-ikan dari lokasi penangkapan atau terjadinya kematian massal pada ikan.
4. Ekonomi
Hasil tangkapan nelayan menurun.
Hasil pendapatan penjual ikan/warung sea food bisa berkurang.
MSP Online Kuliah ONline
Ruang Sederhana bagi Gathering & Sharing Informasi dan Materi Referensi Ilmiah Populer
Senin, 23 Juli 2012
Fenomena Algae Blooming
Algae blooming seperti kita ketahui bersama merupakan salah
satu masalah ekosistem yang cukup mendapat perhatian serius. Sebelumnya
bagi yang belum mengenal apa itu blooming alga (algae blooming), saya akan menjelaskan sedikit kepada para pembaca.
Blooming alga (algae blooming) merupakan suatu peristiwa "meledaknya" populasi algae pada suatu ekosistem air (aquatic system). Blooming alga dapat terjadi baik di ekosistem air tawar maupun air asin (laut). Biasanya, diakibatkan oleh satu atau beberapa jenis fitoplankton (phytoplankton) yang memiliki pigmen warna misalkan hijau, biru atau merah.
Dikatakan meledak atau 'bloom' jika perbandingan konsentrasi algae mencapai ratusan hingga ribuan bahkan ada yang mencapai jutaan sel per mililiter. Biasanya fenomena blooming alga ini berwarna hijau, namun pernah juga ditemui warna kuning kecoklatan, merah itu semua bergantung pada spesies dan pigmen warna yang dibawanya.
Fenomena dapat terjadi dikarenakan banyaknya nutrisi yang ada pada perairan tersebut. Nutrisi tersebut diperoleh dari proses eutrofikasi. Proses eutrofikasi yakni proses pencemaran air dengan zat-zat makanan atau nutrien yang berlebih ke dalam ekosistem air. Proses eutrofikasi bisa berasal dari limbah rumah tangga dan pemberian pupuk yang berlebihan pada lahan pertanian sehingga sebagian dari pupuk tersebut ikut terlarut ke dalam perairan. Terutama kandungan ion fosfat (PO3-) dan Nitrogen (N) yang ternyata menguntungkan bagi beberapa spesies alga. Dan inilah yang akan menyebabkan populasi alga menjadi tidak terkontrol.
Bukan tanpa akibat. Fenomena ini cukup menjadi masalah yang serius apabila tidak segera di tangani. Apabila tidak segera ditangani, fenomena ini akan menyebabkan ikan, atau organisme lain yang masih satu ekosistem mengalami kematian. Kematian ini lebih disebabkan karena kekurangan zat makanan dan kekurangan cahaya matahari. Karena alga yang hidup di permukaan air akan menghalangi sinar matahari masuk ke dasar perairan. Dan ada pula spesies alga yang juga memproduksi toksin, yang tentu merugikan organisme lain termasuk manusia.
Salah satu fenomena terkini terjadinya algae blooming yakni yang terjadi di Qingdao sebuah pantai yang ada China tepatnya di provinsi Shandong di China bagian Timur. Algae blooming ini membuat perairan pantai ini menghijau. Hampir 30 ton, alga menutupi pantai ini.
Tapi, justru ada keindahan di balik fenomena ini. Jika dilihat dari kamera satelit fenomena blooming algae bagaikan sebuah lukisan atau bagaikan fenomena aurora di kutub Utara maupun Selatan. Seperti yang terjadi di Inggris, dan Laut Baltik. Semoga bermanfaat, ada komentar ?
Blooming alga (algae blooming) merupakan suatu peristiwa "meledaknya" populasi algae pada suatu ekosistem air (aquatic system). Blooming alga dapat terjadi baik di ekosistem air tawar maupun air asin (laut). Biasanya, diakibatkan oleh satu atau beberapa jenis fitoplankton (phytoplankton) yang memiliki pigmen warna misalkan hijau, biru atau merah.
Dikatakan meledak atau 'bloom' jika perbandingan konsentrasi algae mencapai ratusan hingga ribuan bahkan ada yang mencapai jutaan sel per mililiter. Biasanya fenomena blooming alga ini berwarna hijau, namun pernah juga ditemui warna kuning kecoklatan, merah itu semua bergantung pada spesies dan pigmen warna yang dibawanya.
Fenomena dapat terjadi dikarenakan banyaknya nutrisi yang ada pada perairan tersebut. Nutrisi tersebut diperoleh dari proses eutrofikasi. Proses eutrofikasi yakni proses pencemaran air dengan zat-zat makanan atau nutrien yang berlebih ke dalam ekosistem air. Proses eutrofikasi bisa berasal dari limbah rumah tangga dan pemberian pupuk yang berlebihan pada lahan pertanian sehingga sebagian dari pupuk tersebut ikut terlarut ke dalam perairan. Terutama kandungan ion fosfat (PO3-) dan Nitrogen (N) yang ternyata menguntungkan bagi beberapa spesies alga. Dan inilah yang akan menyebabkan populasi alga menjadi tidak terkontrol.
Bukan tanpa akibat. Fenomena ini cukup menjadi masalah yang serius apabila tidak segera di tangani. Apabila tidak segera ditangani, fenomena ini akan menyebabkan ikan, atau organisme lain yang masih satu ekosistem mengalami kematian. Kematian ini lebih disebabkan karena kekurangan zat makanan dan kekurangan cahaya matahari. Karena alga yang hidup di permukaan air akan menghalangi sinar matahari masuk ke dasar perairan. Dan ada pula spesies alga yang juga memproduksi toksin, yang tentu merugikan organisme lain termasuk manusia.
Salah satu fenomena terkini terjadinya algae blooming yakni yang terjadi di Qingdao sebuah pantai yang ada China tepatnya di provinsi Shandong di China bagian Timur. Algae blooming ini membuat perairan pantai ini menghijau. Hampir 30 ton, alga menutupi pantai ini.
![]() |
Blooming algae di Qingdao, China, 2011 |
Tapi, justru ada keindahan di balik fenomena ini. Jika dilihat dari kamera satelit fenomena blooming algae bagaikan sebuah lukisan atau bagaikan fenomena aurora di kutub Utara maupun Selatan. Seperti yang terjadi di Inggris, dan Laut Baltik. Semoga bermanfaat, ada komentar ?
Algae blooming di Inggris 1999 |
Algae blooming di Laut Baltik 2005 |
RED TIDE; Harmfull m-Alga Bloom (HAB)
Red
tide adalah suatu keadaan di mana air, terutama air laut mengalami
perubahan warna akibat dari ledakan populasi (blooming) dari
fitoplankton. Perubahan warna yang terjadi dapat berupa warna merah,
coklat, ungu, kuning, hijau dan lain-lainnya. Istilah red tide saat ini
populer dikenal dengan istilah Harmfull m-Alga Blooms (HAB), karena
tidak semua alga yang blooming menyebabkan kematian dan tidak semunya
berwarna merah. Saat ini jumlah fitopalnkton yang dapat menyebabkan HAB
ada sekitar 50 jenis dan hampi semuanya dari kelompok dinoflagelata.
Kelompok lain hanya terdiri atas marga diatom sebanyak tiga jenis dari
marga Pseudonistzchia (Praseno, 1993).
Pada
sisi lain, HAB merupakan fenomena yang terjadi akibat ledakan
perkembangan (blooming) yang begitu cepat dari sejenis fitoplankton,
misalnya Ptychodiscus brevis, Prorocentrum, Gymnodinium breve, Alexandrium catenella dan Noctiluca Scintillans dari
kelompok Dinoflagellata (Pyrrophyta) yang dapat menyebabkan perubahan
warna dan konsentrasi air secara drastis, kematian massal biota laut,
perubahan struktur komunitas ekosistem perairan, bahkan keracunan dan
kematian pada manusia. Hal ini
disebabkan oleh setidaknya empat factor, yaitu pengayaan unsur hara
dalam dasar laut atau eutrofikasi, perubahan hidro-meteorologi dalam
sekala besar, adanya gejala upwelling
yaitu pengangkatan massa air yang kaya akan unsur hara ke permukaan,
dan akibat hujan dan masuknya air tawar ke laut dalam jumlah besar.
Keempat
faktor itu, menurutnya, merupakan faktor penyebab terjadinya red tide
spesies fitoplankton pyrrophyta berwarna merah. Spesies ini akan hilang
dengan sendirinya, bila ekosistem dalam air kembali seimbang, yaitu
kembali pada kondisi normalnya. HAB biasanya terjadi pada air pesisir
pantai dan muara, jumlah fitoplankton berlebih di sebuah perairan
berpotensi membunuh berbagai jenis biota laut secara massal. Pasalnya,
keberadaan fitoplankton mengurangi jumlah oksigen terlarut.Kemungkinan
lain, insang- insang ikan penuh dengan fitoplankton. Akibatnya, lendir
pembersihnya menggumpal karena fitoplanktonnya berlebih dan ikan pun
sulit bernapas.
Fenomena pasang merah (“red tide”) ini merupakan peristiwa alam yang umumnya terjadi. Namun demikian red tide
tidak selalu berwarna merah, ada kemungkinan berwarna kuning atau
coklat tergantung jenis fitoplankton yang meyebabkan terjadinya red tide
tersebut. Pyrrophyta atau lebih dikenal sebagai Dinophyceae atau Dinoflagellata merupakan
protista yang hidup di laut atau air tawar. Pyrrophyta dinamakan pula
sebagai Dinoflagellata karena mempunyai sepasang flagella yang tidak
sama panjang.
Dinoflagellata
dalam jumlah yang kecil sebagai penyusun komunitas plankton laut,
tetapi lebih melimpah di perairan tawar. Fenonema menarik yang
dihasilkan oleh Pyrrophyta adalah kemampuan bioluminescence (emisi
cahaya oleh organisme), seperti yang dihasilkan oleh Noctiluca, Gonyaulax, Pyrrocystis, Pyrodinium dan Peridinium sehingga menyebabkan laut tampak bercahaya pada malam hari.
Fenomena
lainnya adalah pasang merah (red tide) yaitu terjadinya blooming
Pyrrophyta dengan 1- 20 juta sel per liter. Red tide dapat menyebabkan:
Kematian ikan dan invertebrata, jika yang blooming adalah Ptychodiscus brevis, Prorocentrum dan Gymnodinium breve. Kematian invertebrata jika yang blooming adalah Gonyaulax, Ceratium dan Cochlodinium. Kematian organisme laut, yang lebih dikenal sebagai paralytic shellfish poisoning, jika yang blooming adalah Gonyaulax dan Alexandrium catenella.
Di
beberapa Negara, seperti Jepang, Australia, Selandia Baru, Fiji, Papua
Nugini, Hongkong, India, Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, dan
beberapa Negara lainnya melaporkan bahwa masalah yang ditimbulkan HAB
merupakan masalah serius. Beberapa pusat budidaya ikan, udang, dan
kerang hacur akibat HAB, bahkan kasus keracunan dan kematian manusia
akibat memakan ikan atau kerang yang terkonatminasi HAB sudah sering
dilaporkan.
Di
Indonesia pernah terjadi peristiwa kematian massal ikan beserta kasus
keracunan dan kematian manusia akibat HAB pertama kali dialporkan
terjadi di flores pada tahun 1983. Selain itu juga pernah terjad di
Ujung Pandang pada bulan Agustus 1987 dan di Kalimantan Timur pada bulan
Januari 1988. Kasus keracunan ini diduga kuat disebabkan oleh
fitoplankton jenis Pyrodinium bahamense. Jenis
ini dapat menghasilkan racun saxitosin yang dapat menyebabkan penyakit
Paralytic Shellfish Poisoning (PSP) pada manusia dan hewan (Adnan 1990).
Di
Jakarta pertama kali dilaporkan terjadi peristiwa HAB pada tanggal 31
Juli 1986. Kejadian ini tampak pada beberapa ikan yang mati mengapung di
atas air laut yang pada mulanya banyak beranggapan hal ini disebabkan
oleh pembuangan bahan kimia dan limbah ke laut. Kemungkinan perairan di
teluk Jakarta sudah mengalami eutrofikasi yang menjadi faktot utama
terjadinya HAB (Sutomo, 1993).
KASUS HAB (“RED TIDE” DI INDONESIA)
A. HAB di Teluk Jakarta
Kematian
ribuan ikan di Teluk Jakarta sejak 6 Mei, 2004 telah menyita perhatian
masyarakat di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Masyarakat ibukota
dikecam ketakutan mengkonsumsi ikan yang kematiannya disinyalir akibat
keracunan limbah buangan industri, sementara nelayan tidak kalah resah
dengan rendahnya hasil penjualan ikan mereka jauh di atas rata-rata. Di
lain pihak polemik melanda institusi pemerhati lingkungan dan
pemerintah, sehubungan dengan interpretasi kepastian kematian ribuan
ikan tersebut yang sampai saat ini belum diketahui penyebabnya secara
ilmiah. Analisis sementara yang diberikan Departemen Kelautan dan
Perikanan menyatakan telah terjadi perkembangan (blooming) yang begitu
cepat sejenis fitoplankton Noctiluca scintillans dari kelompok Dinoflagellata, terutama dari jenis yang menyebabkan perairan terlihat berwarna merah pada kondisi "Red Tide".
Kondisi
HAB sebenarnya tidak selalu membahayakan, karena spesies plankton yang
berbahaya hanya sebagian kecil dari konsentrasi plankton aman secara
keseluruhan dan hampir tidak pernah mencapai kepadatan yang bisa
menyebabkan perubahan warna pada perairan. Namun demikian, walaupun
kecil, spesies plankton tersebut mengandung racun yang dapat
mempengaruhi rantai makanan dan selanjutnya membunuh zooplankton, ikan,
burung dan mamalia laut bahkan manusia. Kondisi ini diperburuk dengan
tingginya angka pencemaran laut di Teluk Jakarta akibat buangan limbah
industri dan aktivitas rumah tangga yang menjadi isu utama masyarakat
dewasa ini.
Limpahan air sungai (river discharge)
yang mengangkut zat hara dan buangan limbah organik akibat aktivitas
rumah tangga dan industri merupakan kandidat utama pemicu terjadinya HAB
di Teluk Jakarta. Meningkatnya intensitas curah hujan pada akhir bulan
April 2004 di sekitar wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi
(jabotabel) memberikan akumulasi pengayaan zat hara di perairan Teluk
Jakarta sebagai akibat suplay limpahan air sungai yang terus menerus.
Kondisi optimal diketahui mencapai puncaknya pada minggu pertama bulan
Mei 2004, dan hal ini yang menguatkan analisis limpahan air sungai (river discharge)
sebagai penyebab kematian sebagian ratusan ikan mati pada tanggal 6 Mei
2004. Efek berantai dari pola rantai makanan menyebabkan kematian ikan
secara massal pada tanggal 8 dan 9 Mei, 2004.
Selain itu, faktor batimetri, yaitu kedangkalan dan gundukan (sill)
yang terdapat di mulut Teluk Jakarta dapat menyebabkan kenaikan tinggi
gelombang dan penguatan arus pasut serta percampuran secara turbulen
(turbulent mixing) di seluruh kolom perairan akibat efek gesekan dengan
dasar laut.
Aktivitas ini dapat membentuk pertemuan dua regim kontras oleh arus pasut (tidal front)
yang ditandai dengan perbedaan densitas mencolok secara horisontal.
Menurut kaidah geostrofik, maka efek Coriolis akan mengimbangi perbedaan
tekanan yang menyebabkan arus kuat sepanjang area pertemuan dua regim
tersebut (front).
Apabila kedua gaya tersebut tidak lagi seimbang, maka akan terbentuk
sirkulasi vertikal pada lokasi front yang memindahkan melimpahnya zat
hara dari kedalaman ke permukaan. Hal ini akan merangsang pertumbuhan
fitoplankton dan selanjutnya red tide dalam skala waktu yang lebih
cepat.
B. HAB di Perairan Indramayu-Cirebon
Merebaknya
teka teki gejala munculnya Sabuk Hitam (Nelayan Cirebon Berhenti
Melaut: PR 6 Mei 2005) telah membawa konsekuensi meningkatnya keseriusan
instansi-instansi yang berwenang untuk lebih serius memberikan
perhatian serta upaya untuk segera melakukan penanggulangan dampak yang
semakin nyata dan meluas. Prakarsa yang dilakukan Dinas Pertambangan dan
Lingkungan Hidup (DPLH) Kab. Indramayu dan Dinas Pertambangan,
Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DPKLH) Kab. Cirebon untuk melakukan
koordinasi atas teka teki ini merupakan langkah awal yang patut
diberikan acungan jempol, karena lebih berorientasi pada upaya
penanggulangan darurat daripada berkutat mempertanyakan pihak-pihak yang
patut dipersalahkan. Respons yang diberikan pihak terkait lainnya
seperti Pertamina UP VI, Pertamina DOC-JBB, UPMS III Balongan, serta BP
West Java juga merupakan langkah maju untuk mengungkap teka teki Sabuk
Hitam ini. Sementara itu, serentaknya upaya penanggulangan atas bukti
cemaran minyak mentah (crude oil)
yang terdampar di tiga pulau yaitu pulau Biawak, Gosong dan Cendekian
diharapkan akan mempercepat pemulihan lingkungan di kawasan pulau-pulau
tersebut, sekaligus mengungkap dari mana sumber cemaran minyak ini
berasal.
Dugaan telah terjadinya pertumbuhan algae yang sangat pesat (Blooming algae atau Harmfull Algal Bloom)
seperti yang dikemukakan Staf Ahli dari DPKLH Kab. Cirebon (Misteri
Sabuk Hitam Diduga Blooming Algae: PR 17 Mei 2005), juga merupakan
masukan yang cukup beralasan karena pada tahun 2003 para peneliti BATAN
bersama dengan Universitas Atmajaya dan Puslitbang Geologi Kelautan
(PPPGL) telah menemukan adanya kista yang diduga merupakan kumpulan
algae menyerupai jenis Dynoflagellate pada sedimen dasar laut di sekitar
perairan Cirebon. Hal ini memberikan indikasi bahwa peluang terjadinya blooming algae
ini memungkinkan jika nutrisi atau zat hara disekitar perairan melimpah
dan sinar matahari cukup menghangatkan perairan sehingga kista yang
berada di dasar laut akan mengalami proses percambahan (germination)
dan pecah sehingga sel-sel algae di dalam kista tadi keluar menyebar.
Sinar matahari akan mempercepat proses pembelahan sel menjadi sejuta
kali dalam waktu dua sampai tiga minggu. Jika algae ini memiliki pigmen
warna merah maka limpahan algae yang mengambang di perkukaan laut ini
akan mewarnai perairan menjadi merah sehingga fenomena ini disebut ”Red Tide”.
Red Tide lazim terjadi pada perairan dangkal atau muara, dimana akibat
adanya banjir di muara sungai menyebabkan arus dasar laut mengaduk dasar
perairan yang mengakibatkan kista-kista algae yang berada di dalam
sedimen lumpur ini teraduk dan terangkat ke permukaan dasar laut. Jika
kandungan oksigen cukup dan temperatur perairan cukup hangat maka
kista-kista tadi pecah dan sel algae berhamburan melayang pada kolom air
laut. Nutrisi dan zat hara yang terbawa aliran sungai ke laut
mempercepat pembelahan sel algae ini sehingga menyebabkan blooming algae
secara berlimpah. Berlimpahnya algae ini menutupi permukaan laut pada
malam hari dan turun menyelam ke bagian bawah pada siang hari, sehingga
kenampakannya sulit terlihat pada siang hari. Arus permukaan laut
biasanya mengangkut limpahan algae ini membentuk sabuk memanjang
mengikuti arah arus, namun jika arus laut tidak cukup kuat maka limpahan
algae ini membentuk kawasan perairan dengan rona merah, kadang-kadang
bercampur warna coklat atau hitam tergantung dari pigmen jenis algae
dominannya. Berlimpahnya algae di permukaan laut juga telah
mengakibatkan berkurangnya kandungan oksigen pada kolom air di bawahnya,
akibatnya mahluk hidup lain seperti ikan-ikan kecil akan mati lemas
kekurangan oksigen. Selain itu, jika jenis algae ini beracun, maka
ikan-ikan besar yang memakan algae ini juga ikut teracuni, biasanya akan
mengalami lumpuh dan bahkan mati beberapa saat kemudian. Berlimpahnya
algae ini juga mengakibatkan keracunan mahluk hidup lainnya seperti
kerang-kerangan yang hidup di dasar laut. Kerang yang teracuni algae ini
sangat beracun jika dikonsumsi manusia karena mempunyai akumulasi
kandungan racun yang lebih tinggi dibandingkan jenis ikan. Hal lain
yang merupakan ciri booming algae adalah kelaziman terjadinya di kawasan
pantai, sangat jarang terjadi di laut lepas karena ummunya kista-kista
algae ini hidup dalam bentuk Alexandrium istirahat tertimbun sedimen
lumpuran sampai tahunan di perairan dangkal. Dengan demikian, dugaan
adanya indikasi booming algae sebagai Sabuk Hitam diperairan Cirebon
atau Indramayu yang berjarak 10-15 Km dari garis pantai kemungkinannya
sangat langka. Namun demikian, jika memang ditemukan data adanya
pertumbuhan algae di laut lepas akan merupakan data baru yang cukup
signifikan untuk diteliti lebih lanjut.
Dugaan
Sabuk hitam di perairan lepas pantai sebagai apungan tumpahan minyak
(oil spill) nampaknya lebih mendekati kenyataan, karena oil spill dapat
terjadi di perairan dangkal atau lepas pantai, tergantung dari
sumbernya. Bentuk luasan oil spill ini biasanya memanjang sesuai dengan
arah arus dominan. Namun di perairan Laut Jawa di mana arus dominan
merupakan arus pasang surut yang berbalik arah dua kali sehari maka
diperkirakan arah orientasi Sabuk Hitam ini memanjang timur-barat.
Kenampakan oil spill ini hanya dapat dilihat secara visual jika
gelombang relatif tenang, sedangkan pada saat gelombang besar maka sulit
untuk dikenali. Dengan kata lain, sulit untuk memperkirakan luasan
sebarannya hanya berdasarkan pengamatan visualisasi saja. Teknik yang
umum untuk mendeteksi bentuk serta luasan sebaran oil spill ini adalah
menggunakan Synthetic Aperture Radar (SAR) yang memanfaatkan hamburan balik (backscatter)
gelombang mikro yang intensitasnya berkurang pada lapisan oil spill.
Rona oil spill pada rekaman SAR umumnya berwarna hitam sedangkan rona
latar air laut berwarna lebih cerah.
Jika
indikasi tumpahan minyak ini telah terpetakan maka berbagai upaya
penanggulangan dapat dilakukan agar tidak meluas dan merusak lingkungan
laut. Peralatan yang umum digunakan dalam penanggulangan tumpahan minyak
adalah Oil Boom yaitu perangkap lapisan minyak menggunakan sistem
pelampung terapung, Oil Skimmers sebagai penyaring yang memisahkan
minyak dan air, Hydro-Fire Boom menggunakan air yang dibekukan kemudian
tumpahan minyak dibakar di tempat (insitu), dan Dispersant Spray
Equipment menggunakan dispersant kimiawi untuk membuyarkan lapisan
tumpahan minyak yang cukup tebal. Penggunaan perangkat lunak untuk
pemodelan merupakan cara analitis yang cukup ampuh untuk mendeteksi
letak sumber tumpahan minyak. Salah satu perangkat lunak yang sering
digunakan adalah Fluidyn-FLOWCOAST yang dikembangkan dari pemodelan
hidrodinamika fluida. Keunggulan pemodelan ini adalah disamping dapat
memodelkan pergerakan tumpahan minyak dari waktu kewaktu, juga dapat
menghitung penurunan kadar tumpahan minyak oleh deposisi pantai (oil retention capacity of the shoreline).
Ditinjau
dari prakarsa yang perlu ditempuh pada kasus Sabuk Hitam di perairan
Indramayu dan Cirebon, maka pengambilan sampel tumpahan minyak di
tempat-tempat yang representatif akan menggiring analisis dari mana
sumber tumpahan minyak itu berasal. Oleh sebab itu, untuk menjawab
teka-teki keberadaan Sabuk Hitam ini sangat diperlukan kerja sama semua
pihak untuk memberikan data temuan seobjektif mungkin. Kemungkinan
sumber cemaran sementara ini adalah berasal dari sumber-sumber bergerak
seperti bocornya kapal tanker pengangkut minyak mentah atau secara
sengaja dibuang ke laut, kebocoran pipa-pipa penyalur bawah laut (submarine pipeline),
rembesan minyak pada sumur-sumur eksplorasi dan eksploitasi anjungan
pemboran minyak lepas pantai, ataupun kebocoran pada ujung lubang bor
dasar laut (seabottom well head)
merupakan sumber-sumber yang patut dipantau secara ketat, karena
perairan Laut Jawa Barat merupakan kawasan kegiatan pemboran minyak dan
gas yang cukup intensif.
DAFTAR PUSTAKA
Admin. Red Tide; Perubahn warna Air Laut. http: klutuk.co.cc. Tanggal Akses 22 Juni 2010.
Adnan
Q. Keracunan Makan Kerang dan Red Tide Suatu Fenomena Alam di
Indonesia. Lustrum VII Fakultas Biologi UGM. Jogjakarta, 1990.
Homepage Departemen Kelautan dan Perikanan, http://www.dkp.go.id. Tanggal Akses 22 Juni 2010.
Homepage http://e450.colorado.edu/realtime/welcome/. Tanggal Akses 22 Juni 2010.
Lubis,
S. Teka Teki Sabuk Hitam dan ”Red Tide” di Perairan Indramayu-Cirebon,
Dua Gejala Kelautan yang Sangat Berbeda. Puslitbang Geologi Kelautan.
Jakarta, 2009.
Praseno, DP. Studi “Red Tide” dan Pemantauannya. Ceramah Interen P2O LIPI. Jakarta. 1993
Sutomo. Kejadian Red Tide dan Kematian Massal Udang Jebbung (Peaneus murguensis) dan Udang Windu (Peaneus monodon) dalam Budidaya Jaring Apung di Muara Keramat Kebo, Teluk Naga, Tanggerang. Puslit Oseanografi LIPI. Jakarta, 1993.
Syamsyudin, F. Red Tide di Teluk Jakarta. Inovasi Online. http://io.ppi-jepang.org. Tanggal Akses 22 Juni 2010
Langganan:
Postingan (Atom)