Red
tide adalah suatu keadaan di mana air, terutama air laut mengalami
perubahan warna akibat dari ledakan populasi (blooming) dari
fitoplankton. Perubahan warna yang terjadi dapat berupa warna merah,
coklat, ungu, kuning, hijau dan lain-lainnya. Istilah red tide saat ini
populer dikenal dengan istilah Harmfull m-Alga Blooms (HAB), karena
tidak semua alga yang blooming menyebabkan kematian dan tidak semunya
berwarna merah. Saat ini jumlah fitopalnkton yang dapat menyebabkan HAB
ada sekitar 50 jenis dan hampi semuanya dari kelompok dinoflagelata.
Kelompok lain hanya terdiri atas marga diatom sebanyak tiga jenis dari
marga Pseudonistzchia (Praseno, 1993).
Pada
sisi lain, HAB merupakan fenomena yang terjadi akibat ledakan
perkembangan (blooming) yang begitu cepat dari sejenis fitoplankton,
misalnya Ptychodiscus brevis, Prorocentrum, Gymnodinium breve, Alexandrium catenella dan Noctiluca Scintillans dari
kelompok Dinoflagellata (Pyrrophyta) yang dapat menyebabkan perubahan
warna dan konsentrasi air secara drastis, kematian massal biota laut,
perubahan struktur komunitas ekosistem perairan, bahkan keracunan dan
kematian pada manusia. Hal ini
disebabkan oleh setidaknya empat factor, yaitu pengayaan unsur hara
dalam dasar laut atau eutrofikasi, perubahan hidro-meteorologi dalam
sekala besar, adanya gejala upwelling
yaitu pengangkatan massa air yang kaya akan unsur hara ke permukaan,
dan akibat hujan dan masuknya air tawar ke laut dalam jumlah besar.
Keempat
faktor itu, menurutnya, merupakan faktor penyebab terjadinya red tide
spesies fitoplankton pyrrophyta berwarna merah. Spesies ini akan hilang
dengan sendirinya, bila ekosistem dalam air kembali seimbang, yaitu
kembali pada kondisi normalnya. HAB biasanya terjadi pada air pesisir
pantai dan muara, jumlah fitoplankton berlebih di sebuah perairan
berpotensi membunuh berbagai jenis biota laut secara massal. Pasalnya,
keberadaan fitoplankton mengurangi jumlah oksigen terlarut.Kemungkinan
lain, insang- insang ikan penuh dengan fitoplankton. Akibatnya, lendir
pembersihnya menggumpal karena fitoplanktonnya berlebih dan ikan pun
sulit bernapas.
Fenomena pasang merah (“red tide”) ini merupakan peristiwa alam yang umumnya terjadi. Namun demikian red tide
tidak selalu berwarna merah, ada kemungkinan berwarna kuning atau
coklat tergantung jenis fitoplankton yang meyebabkan terjadinya red tide
tersebut. Pyrrophyta atau lebih dikenal sebagai Dinophyceae atau Dinoflagellata merupakan
protista yang hidup di laut atau air tawar. Pyrrophyta dinamakan pula
sebagai Dinoflagellata karena mempunyai sepasang flagella yang tidak
sama panjang.
Dinoflagellata
dalam jumlah yang kecil sebagai penyusun komunitas plankton laut,
tetapi lebih melimpah di perairan tawar. Fenonema menarik yang
dihasilkan oleh Pyrrophyta adalah kemampuan bioluminescence (emisi
cahaya oleh organisme), seperti yang dihasilkan oleh Noctiluca, Gonyaulax, Pyrrocystis, Pyrodinium dan Peridinium sehingga menyebabkan laut tampak bercahaya pada malam hari.
Fenomena
lainnya adalah pasang merah (red tide) yaitu terjadinya blooming
Pyrrophyta dengan 1- 20 juta sel per liter. Red tide dapat menyebabkan:
Kematian ikan dan invertebrata, jika yang blooming adalah Ptychodiscus brevis, Prorocentrum dan Gymnodinium breve. Kematian invertebrata jika yang blooming adalah Gonyaulax, Ceratium dan Cochlodinium. Kematian organisme laut, yang lebih dikenal sebagai paralytic shellfish poisoning, jika yang blooming adalah Gonyaulax dan Alexandrium catenella.
Di
beberapa Negara, seperti Jepang, Australia, Selandia Baru, Fiji, Papua
Nugini, Hongkong, India, Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, dan
beberapa Negara lainnya melaporkan bahwa masalah yang ditimbulkan HAB
merupakan masalah serius. Beberapa pusat budidaya ikan, udang, dan
kerang hacur akibat HAB, bahkan kasus keracunan dan kematian manusia
akibat memakan ikan atau kerang yang terkonatminasi HAB sudah sering
dilaporkan.
Di
Indonesia pernah terjadi peristiwa kematian massal ikan beserta kasus
keracunan dan kematian manusia akibat HAB pertama kali dialporkan
terjadi di flores pada tahun 1983. Selain itu juga pernah terjad di
Ujung Pandang pada bulan Agustus 1987 dan di Kalimantan Timur pada bulan
Januari 1988. Kasus keracunan ini diduga kuat disebabkan oleh
fitoplankton jenis Pyrodinium bahamense. Jenis
ini dapat menghasilkan racun saxitosin yang dapat menyebabkan penyakit
Paralytic Shellfish Poisoning (PSP) pada manusia dan hewan (Adnan 1990).
Di
Jakarta pertama kali dilaporkan terjadi peristiwa HAB pada tanggal 31
Juli 1986. Kejadian ini tampak pada beberapa ikan yang mati mengapung di
atas air laut yang pada mulanya banyak beranggapan hal ini disebabkan
oleh pembuangan bahan kimia dan limbah ke laut. Kemungkinan perairan di
teluk Jakarta sudah mengalami eutrofikasi yang menjadi faktot utama
terjadinya HAB (Sutomo, 1993).
KASUS HAB (“RED TIDE” DI INDONESIA)
A. HAB di Teluk Jakarta
Kematian
ribuan ikan di Teluk Jakarta sejak 6 Mei, 2004 telah menyita perhatian
masyarakat di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Masyarakat ibukota
dikecam ketakutan mengkonsumsi ikan yang kematiannya disinyalir akibat
keracunan limbah buangan industri, sementara nelayan tidak kalah resah
dengan rendahnya hasil penjualan ikan mereka jauh di atas rata-rata. Di
lain pihak polemik melanda institusi pemerhati lingkungan dan
pemerintah, sehubungan dengan interpretasi kepastian kematian ribuan
ikan tersebut yang sampai saat ini belum diketahui penyebabnya secara
ilmiah. Analisis sementara yang diberikan Departemen Kelautan dan
Perikanan menyatakan telah terjadi perkembangan (blooming) yang begitu
cepat sejenis fitoplankton Noctiluca scintillans dari kelompok Dinoflagellata, terutama dari jenis yang menyebabkan perairan terlihat berwarna merah pada kondisi "Red Tide".
Kondisi
HAB sebenarnya tidak selalu membahayakan, karena spesies plankton yang
berbahaya hanya sebagian kecil dari konsentrasi plankton aman secara
keseluruhan dan hampir tidak pernah mencapai kepadatan yang bisa
menyebabkan perubahan warna pada perairan. Namun demikian, walaupun
kecil, spesies plankton tersebut mengandung racun yang dapat
mempengaruhi rantai makanan dan selanjutnya membunuh zooplankton, ikan,
burung dan mamalia laut bahkan manusia. Kondisi ini diperburuk dengan
tingginya angka pencemaran laut di Teluk Jakarta akibat buangan limbah
industri dan aktivitas rumah tangga yang menjadi isu utama masyarakat
dewasa ini.
Limpahan air sungai (river discharge)
yang mengangkut zat hara dan buangan limbah organik akibat aktivitas
rumah tangga dan industri merupakan kandidat utama pemicu terjadinya HAB
di Teluk Jakarta. Meningkatnya intensitas curah hujan pada akhir bulan
April 2004 di sekitar wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi
(jabotabel) memberikan akumulasi pengayaan zat hara di perairan Teluk
Jakarta sebagai akibat suplay limpahan air sungai yang terus menerus.
Kondisi optimal diketahui mencapai puncaknya pada minggu pertama bulan
Mei 2004, dan hal ini yang menguatkan analisis limpahan air sungai (river discharge)
sebagai penyebab kematian sebagian ratusan ikan mati pada tanggal 6 Mei
2004. Efek berantai dari pola rantai makanan menyebabkan kematian ikan
secara massal pada tanggal 8 dan 9 Mei, 2004.
Selain itu, faktor batimetri, yaitu kedangkalan dan gundukan (sill)
yang terdapat di mulut Teluk Jakarta dapat menyebabkan kenaikan tinggi
gelombang dan penguatan arus pasut serta percampuran secara turbulen
(turbulent mixing) di seluruh kolom perairan akibat efek gesekan dengan
dasar laut.
Aktivitas ini dapat membentuk pertemuan dua regim kontras oleh arus pasut (tidal front)
yang ditandai dengan perbedaan densitas mencolok secara horisontal.
Menurut kaidah geostrofik, maka efek Coriolis akan mengimbangi perbedaan
tekanan yang menyebabkan arus kuat sepanjang area pertemuan dua regim
tersebut (front).
Apabila kedua gaya tersebut tidak lagi seimbang, maka akan terbentuk
sirkulasi vertikal pada lokasi front yang memindahkan melimpahnya zat
hara dari kedalaman ke permukaan. Hal ini akan merangsang pertumbuhan
fitoplankton dan selanjutnya red tide dalam skala waktu yang lebih
cepat.
B. HAB di Perairan Indramayu-Cirebon
Merebaknya
teka teki gejala munculnya Sabuk Hitam (Nelayan Cirebon Berhenti
Melaut: PR 6 Mei 2005) telah membawa konsekuensi meningkatnya keseriusan
instansi-instansi yang berwenang untuk lebih serius memberikan
perhatian serta upaya untuk segera melakukan penanggulangan dampak yang
semakin nyata dan meluas. Prakarsa yang dilakukan Dinas Pertambangan dan
Lingkungan Hidup (DPLH) Kab. Indramayu dan Dinas Pertambangan,
Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DPKLH) Kab. Cirebon untuk melakukan
koordinasi atas teka teki ini merupakan langkah awal yang patut
diberikan acungan jempol, karena lebih berorientasi pada upaya
penanggulangan darurat daripada berkutat mempertanyakan pihak-pihak yang
patut dipersalahkan. Respons yang diberikan pihak terkait lainnya
seperti Pertamina UP VI, Pertamina DOC-JBB, UPMS III Balongan, serta BP
West Java juga merupakan langkah maju untuk mengungkap teka teki Sabuk
Hitam ini. Sementara itu, serentaknya upaya penanggulangan atas bukti
cemaran minyak mentah (crude oil)
yang terdampar di tiga pulau yaitu pulau Biawak, Gosong dan Cendekian
diharapkan akan mempercepat pemulihan lingkungan di kawasan pulau-pulau
tersebut, sekaligus mengungkap dari mana sumber cemaran minyak ini
berasal.
Dugaan telah terjadinya pertumbuhan algae yang sangat pesat (Blooming algae atau Harmfull Algal Bloom)
seperti yang dikemukakan Staf Ahli dari DPKLH Kab. Cirebon (Misteri
Sabuk Hitam Diduga Blooming Algae: PR 17 Mei 2005), juga merupakan
masukan yang cukup beralasan karena pada tahun 2003 para peneliti BATAN
bersama dengan Universitas Atmajaya dan Puslitbang Geologi Kelautan
(PPPGL) telah menemukan adanya kista yang diduga merupakan kumpulan
algae menyerupai jenis Dynoflagellate pada sedimen dasar laut di sekitar
perairan Cirebon. Hal ini memberikan indikasi bahwa peluang terjadinya blooming algae
ini memungkinkan jika nutrisi atau zat hara disekitar perairan melimpah
dan sinar matahari cukup menghangatkan perairan sehingga kista yang
berada di dasar laut akan mengalami proses percambahan (germination)
dan pecah sehingga sel-sel algae di dalam kista tadi keluar menyebar.
Sinar matahari akan mempercepat proses pembelahan sel menjadi sejuta
kali dalam waktu dua sampai tiga minggu. Jika algae ini memiliki pigmen
warna merah maka limpahan algae yang mengambang di perkukaan laut ini
akan mewarnai perairan menjadi merah sehingga fenomena ini disebut ”Red Tide”.
Red Tide lazim terjadi pada perairan dangkal atau muara, dimana akibat
adanya banjir di muara sungai menyebabkan arus dasar laut mengaduk dasar
perairan yang mengakibatkan kista-kista algae yang berada di dalam
sedimen lumpur ini teraduk dan terangkat ke permukaan dasar laut. Jika
kandungan oksigen cukup dan temperatur perairan cukup hangat maka
kista-kista tadi pecah dan sel algae berhamburan melayang pada kolom air
laut. Nutrisi dan zat hara yang terbawa aliran sungai ke laut
mempercepat pembelahan sel algae ini sehingga menyebabkan blooming algae
secara berlimpah. Berlimpahnya algae ini menutupi permukaan laut pada
malam hari dan turun menyelam ke bagian bawah pada siang hari, sehingga
kenampakannya sulit terlihat pada siang hari. Arus permukaan laut
biasanya mengangkut limpahan algae ini membentuk sabuk memanjang
mengikuti arah arus, namun jika arus laut tidak cukup kuat maka limpahan
algae ini membentuk kawasan perairan dengan rona merah, kadang-kadang
bercampur warna coklat atau hitam tergantung dari pigmen jenis algae
dominannya. Berlimpahnya algae di permukaan laut juga telah
mengakibatkan berkurangnya kandungan oksigen pada kolom air di bawahnya,
akibatnya mahluk hidup lain seperti ikan-ikan kecil akan mati lemas
kekurangan oksigen. Selain itu, jika jenis algae ini beracun, maka
ikan-ikan besar yang memakan algae ini juga ikut teracuni, biasanya akan
mengalami lumpuh dan bahkan mati beberapa saat kemudian. Berlimpahnya
algae ini juga mengakibatkan keracunan mahluk hidup lainnya seperti
kerang-kerangan yang hidup di dasar laut. Kerang yang teracuni algae ini
sangat beracun jika dikonsumsi manusia karena mempunyai akumulasi
kandungan racun yang lebih tinggi dibandingkan jenis ikan. Hal lain
yang merupakan ciri booming algae adalah kelaziman terjadinya di kawasan
pantai, sangat jarang terjadi di laut lepas karena ummunya kista-kista
algae ini hidup dalam bentuk Alexandrium istirahat tertimbun sedimen
lumpuran sampai tahunan di perairan dangkal. Dengan demikian, dugaan
adanya indikasi booming algae sebagai Sabuk Hitam diperairan Cirebon
atau Indramayu yang berjarak 10-15 Km dari garis pantai kemungkinannya
sangat langka. Namun demikian, jika memang ditemukan data adanya
pertumbuhan algae di laut lepas akan merupakan data baru yang cukup
signifikan untuk diteliti lebih lanjut.
Dugaan
Sabuk hitam di perairan lepas pantai sebagai apungan tumpahan minyak
(oil spill) nampaknya lebih mendekati kenyataan, karena oil spill dapat
terjadi di perairan dangkal atau lepas pantai, tergantung dari
sumbernya. Bentuk luasan oil spill ini biasanya memanjang sesuai dengan
arah arus dominan. Namun di perairan Laut Jawa di mana arus dominan
merupakan arus pasang surut yang berbalik arah dua kali sehari maka
diperkirakan arah orientasi Sabuk Hitam ini memanjang timur-barat.
Kenampakan oil spill ini hanya dapat dilihat secara visual jika
gelombang relatif tenang, sedangkan pada saat gelombang besar maka sulit
untuk dikenali. Dengan kata lain, sulit untuk memperkirakan luasan
sebarannya hanya berdasarkan pengamatan visualisasi saja. Teknik yang
umum untuk mendeteksi bentuk serta luasan sebaran oil spill ini adalah
menggunakan Synthetic Aperture Radar (SAR) yang memanfaatkan hamburan balik (backscatter)
gelombang mikro yang intensitasnya berkurang pada lapisan oil spill.
Rona oil spill pada rekaman SAR umumnya berwarna hitam sedangkan rona
latar air laut berwarna lebih cerah.
Jika
indikasi tumpahan minyak ini telah terpetakan maka berbagai upaya
penanggulangan dapat dilakukan agar tidak meluas dan merusak lingkungan
laut. Peralatan yang umum digunakan dalam penanggulangan tumpahan minyak
adalah Oil Boom yaitu perangkap lapisan minyak menggunakan sistem
pelampung terapung, Oil Skimmers sebagai penyaring yang memisahkan
minyak dan air, Hydro-Fire Boom menggunakan air yang dibekukan kemudian
tumpahan minyak dibakar di tempat (insitu), dan Dispersant Spray
Equipment menggunakan dispersant kimiawi untuk membuyarkan lapisan
tumpahan minyak yang cukup tebal. Penggunaan perangkat lunak untuk
pemodelan merupakan cara analitis yang cukup ampuh untuk mendeteksi
letak sumber tumpahan minyak. Salah satu perangkat lunak yang sering
digunakan adalah Fluidyn-FLOWCOAST yang dikembangkan dari pemodelan
hidrodinamika fluida. Keunggulan pemodelan ini adalah disamping dapat
memodelkan pergerakan tumpahan minyak dari waktu kewaktu, juga dapat
menghitung penurunan kadar tumpahan minyak oleh deposisi pantai (oil retention capacity of the shoreline).
Ditinjau
dari prakarsa yang perlu ditempuh pada kasus Sabuk Hitam di perairan
Indramayu dan Cirebon, maka pengambilan sampel tumpahan minyak di
tempat-tempat yang representatif akan menggiring analisis dari mana
sumber tumpahan minyak itu berasal. Oleh sebab itu, untuk menjawab
teka-teki keberadaan Sabuk Hitam ini sangat diperlukan kerja sama semua
pihak untuk memberikan data temuan seobjektif mungkin. Kemungkinan
sumber cemaran sementara ini adalah berasal dari sumber-sumber bergerak
seperti bocornya kapal tanker pengangkut minyak mentah atau secara
sengaja dibuang ke laut, kebocoran pipa-pipa penyalur bawah laut (submarine pipeline),
rembesan minyak pada sumur-sumur eksplorasi dan eksploitasi anjungan
pemboran minyak lepas pantai, ataupun kebocoran pada ujung lubang bor
dasar laut (seabottom well head)
merupakan sumber-sumber yang patut dipantau secara ketat, karena
perairan Laut Jawa Barat merupakan kawasan kegiatan pemboran minyak dan
gas yang cukup intensif.
DAFTAR PUSTAKA
Admin. Red Tide; Perubahn warna Air Laut. http: klutuk.co.cc. Tanggal Akses 22 Juni 2010.
Adnan
Q. Keracunan Makan Kerang dan Red Tide Suatu Fenomena Alam di
Indonesia. Lustrum VII Fakultas Biologi UGM. Jogjakarta, 1990.
Homepage Departemen Kelautan dan Perikanan, http://www.dkp.go.id. Tanggal Akses 22 Juni 2010.
Homepage http://e450.colorado.edu/realtime/welcome/. Tanggal Akses 22 Juni 2010.
Lubis,
S. Teka Teki Sabuk Hitam dan ”Red Tide” di Perairan Indramayu-Cirebon,
Dua Gejala Kelautan yang Sangat Berbeda. Puslitbang Geologi Kelautan.
Jakarta, 2009.
Praseno, DP. Studi “Red Tide” dan Pemantauannya. Ceramah Interen P2O LIPI. Jakarta. 1993
Sutomo. Kejadian Red Tide dan Kematian Massal Udang Jebbung (Peaneus murguensis) dan Udang Windu (Peaneus monodon) dalam Budidaya Jaring Apung di Muara Keramat Kebo, Teluk Naga, Tanggerang. Puslit Oseanografi LIPI. Jakarta, 1993.
Syamsyudin, F. Red Tide di Teluk Jakarta. Inovasi Online. http://io.ppi-jepang.org. Tanggal Akses 22 Juni 2010